Rabu, 12 September 2012

Majalah Ngoce,media komunitas mantan pecandu dan mantan napi narkoba Semarang



 
Tidak puas dengan keberadaan media umum dalam memaparkan tulisan tentang narkoba, mantan pecandu dan mantan napi narkoba di Semarang membuat media sendiri, majalah Ngoce. Melalui majalah ini mereka suarakan kejujuran, pemberontakan sampai terapi kesembuhan lewat menulis. 

***
 “Aku makai dari kelas 3 SMP makai  jenis obat-obatan pil bego. Kelas 1 SMA gelek dan sabu. 2SMA jualan gelek sabu nya dah kurang. Malah sakau. Waktu kelas 2 SMA jualan ganjan buat nutup kebutuhan sakauku,”

Cerita  ini mengalir dari  Kosa, bekas pecandu dan napi kasus narkoba yang kini menjadi salah satu jurnalis di Majalah Ngoce Semarang. 

Kosa bertekad, melalui majalah Ngoce ini, dia dapat membantu kawan-kawannya untuk keluar dari jerat narkoba jika tidak ingin seperti dia. 

“ Total pake 10-11 tahun. Efek kesehatan? Hepatitis C. Liver. Rata-rata aku liat dari teman-teman yang lain putau suntik 90% hepatitis c. Aku ga pengen temen-temen ngalamin apa yg aku alamin, temen-temenku ku MD gara-gara OD, hepatitis liver pecah”tutur Kossa. 

Segala ide yang ada di kepala Kosa kini tertuang bebas lewat Majalah Ngoce. Majalah ini merupakan media komunitas bentukan LSM Performa, LSM pendamping para pecandu dan bekas pecandu Napza Semarang.
Menurut Ivone Sibuea, koordinator LSM Performa majalah Ngoce awal terbentuknya karena komunitasnya merasa tidak puas dengan keberadaan media umum dalam menyampaikan pemberitaan tentang narkoba. 

 “Kita kan temukan materi narkoba itu-itu mulu yang stereotipe. Jadi TV,baliho, stop narkoba. Narkoba itu maut neraka, tidak pernah memberikan edukasi buat kawan-kawan yang sudah terlanjur makai bagaimana? Bagaimana menyelematkan nyawanya? Bagaimana meperpanjang umurnya, bgaiamana keluar dari narkon.” Kata Ivone.

Seruan  ini meluas setelah melihat hasil riset yang dilakukan LSM Performa. 

“ Tahun 2007, riset pertama 12 kota, yang ke 2 ini cm 4 kota. Di kota-kota besar di Indonesia, tingkat pelanggaran Polisi terendah sampai tertinggi di provinsi masing-masing terjadi, dari penyuapan, kekersan pelanggaran HAM penangkapan yg tidak prosedural. 70% keatas terjadi dari kasus-kasus yg kita wawancararai,” tambah Ivone lagi.
Maka munculah Majalah Ngoce, media terobosan komunitas pecandu dan bekas pecandu napza untuk mencari jalur edukasi yang baru dan turut mengubah kebijakan. Majalah yang terbit satu bulan sekali ini  berisi kumpulan karya para pecandu narkoba. Isinya dari Laporan utama, feature, komik, profil dan  informasi mengenai narkoba.
Nama Ngoce diambil dari istilah Semarangan yang berarti, ‘kumpul sambil minum-minum’. Kumpul disini sekarang bermakna lain. Para bekas pecandu dan pecandu aktif napza, menyatu untuk menyuarakan perubahan melalui media.

Kosa, bekas pecandu berat putau yang kerap keluar masuk penjara ini didapuk untuk mengisi halaman feature. Tulisan yang dihasilkan,tanpa wawancara, cukup menuangkan pengalamannya secara natural. 

 “Tulisan yang paling diingat? Yang aku inget buprenorpin. Diberikan oleh dokter sebagai terapi subtitusi heroin. Buprenorpin , heroin sintetis. Nulisnya kan aku ga pernah melarang mereka pakai buprenorpin dengan cara apapun, kalo mau sembuh pakelah dengan cara yang benar, dengan cara sub lingual. Di taruh dibawah lidah mpe hancur sendiri,” 

Berbeda  dengan YOGA, bekas penikmat ganja yang didapuk membuat komik  ini mengaku menulis bukan sekedar menyampaikan ide tapi juga menjadi langkah terapi yang efektif .

 Satu hoby , dua karena niat juga buat terapi, terapi bagus juga.  Hubunganne apa? Nulis ma terapi? Buat ngalihin aja, harus pake harus pake, nulis kan bisa ngalihin, bisa cerita-cerita  narkoba Misalnya temen-teman cerita saya salin dulu terus saya kembangkan. Nama kan bukan asli, john ngoce atau lek rebo. Nama-nama lucu,” ungkap Yoga.
Hasil tulisan mereka memang tidak dibebani teori-teori jurnalistik yang muluk-muluk. Mereka hanya menulis testimoni. Tapi unggulnya kata Genry Amalo Pimpinan Redaksi Majalah Ngoce tulisan mereka lebih memiliki jiwa. 
“Bedanya pada nilai, soul kadang ada pengalamanan yang sulit. Tanpa  bermaksud deskriminiasi ada hal-hal yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, pengguna napza, adiksi. Kenapa mereka mencuri? Karena adiksi. Kenapa mereka keluar masuk penjara, karena adiksi. Nah bagaimana menggambarkan adiksi, mereka lebih jelas mengungkapkannya. Wartawan menulis tanpa soul.kecuali jika wartawannya sendiri juga pecandu napza,” jelas Genry.

Layaknya media umum, Majalah Ngoce juga memiliki sasaran target pembaca. Bukan hanya di Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah, peredaran Majalah Ngoce juga sampai ke Provinsi-Provinsi lain. Kata Ira Hapsari, koordinator media Performa, medianya memiliki sasaran khusus. 

“Bagi temen-temen yang gak menggunakan napza kalau baca pasti begini, ih kok kayak gini kok kayak ngajarin. Kita memang segmennya ke temen-temen yang menggunakan napza. Supaya bisa menjaga kesehatannya, tidak parah,” kata Ira

“ Sasarannya mereka yang rentan dengan napza, komunitas musik, keluarga pecandu dan lain-lain,” kata Ira lagi.

Isi di majalah Ngoce pastinya tidak mungkin didapat dari media umum. Menurut Ira, Masyarakat kita tercuci oleh spanduk-spanduk berprestasi tanpa narkoba, pakai narkoba masuk neraka, itukan buat masyarakat  jadi stigma juga bahwa pecandu itu tak berguna, pecandu tu sampah tapi tanpa membantu mereka menemukan jalan keluar dari jerat obat-obatan terlarang itu. 

Suryani, salah satu anggota keluarga dari pecandu napza, mengaku ringan membaca tulisan di Majalah Ngoce karena bahasanya mudah dimengerti. 

 “Terhibur sama tau dunia napza. Bantu seseorang biar berhenti, bisa. Dapetin majalah itu, Ya dibaca, kata-katanya mudah dipahami, kata-katanya ga ribet,”
Selain sederhana, Majalah Ngoce juga jujur. Mengungkap segala sisi kehidupan pecandu dan bekas pecandu narkoba.

 “12 jam digebukin tanggal 3 mei 2003, sabtu jam 11 siang kita ketangkep di kontrakan bandar. Habis tu langsung dibawa ke polres salatiga, begitu masuk di polres salatiga, kita di borgol semua di borgol mata kita di tutup ama plester, ngasi pelajaran justru gak dapet,”Ungkap Kossa lagi.

Kamis, 12 Juli 2012

DALANG PEREMPUAN MENDOBRAK TRADISI PEDALANGAN


Dalang Perempuan  Nyi Wiwik

Perjalananku mencari rumah dalang perempuan ini tergolong mudah. Aku yang juga orang sekitar Salatiga, tak sulit untuk berburu alamatnya. Akhirnya...ini dia...:) 

Rumah paling ujung di kawasan alas karet Dusun Klopo Desa Bringin Kecamatan Beringin Kabupaten Semarang, tampak sederhana. Bangunannya semipermanen seluas 90 meter persegi. Di rumah yang penuh dengan pohon bambu inilah dalang wayang kulit Dwi Tristi Hartini, yang terkenal dengan nama Nyi Wiwik Sabdo Laras,tinggal bersama keluarganya. 

Memang tak sulit menemukan rumah dalang perempuan ini. Selain namanya sudah cukup kondang di kecamatan Bringin Salatiga, dia juga memberikan petunjuk bagi siapa saja yang ingin berkunjung kerumahnya dengan memberikan tanda khusus di depan rumahnya. Tepatnya di kaca depan rumah dia menuliskan “ rumah dalang putri”.
 
Kalangan Pemerintah, media dan masyarakat pencinta kesenian wayang banyak berkunjung ke rumahnya akhir-akhir ini. 

Cinta Dalang. 

Dwi Tristi Hartini atau dalang Nyi Wiwik, mulai akrab dengan dunia wayang dan dalang sejak masih kecil. Bakat mendalangnya mengalir dari darah seni orang tuanya. Ayah Wiwik, Sutrisno Madiyocarito, adalah dalang sepuh yang terkenal di Kabupaten Semarang. Aliran darah seni ternyata lebih kuat dalam melahirkan minat Wiwik untuk mendalang. 

Irama gending yang sudah diakrabnya, sabetan tangan ayahnya memainkan tokoh-tokoh wayang yang menjadi santapannya setiap hari membuat Wiwik serius terjun ke kesenian ini. Tanpa arahan atau paksaan dari ayahnya.

Sejak umur 10 tahun Bapak akhirnya mengajari saya, memegang wayang, memainkan dialog dan ketrampilan lainya dalam mendalang,” tutur Wiwik memulai ceritanya. 

Sejak umur 10 tahun pula ia mulai diajak ayahnya “bekerja”. Wiwik sering mewakili tugas ayahnya medalang untuk sesi pertunjukan siang hari. Pada sesi ini belum menuntut keahlian maximal dari seorang dalang. Berbeda dengan penampilan dalang yang tampil pada malam hari. Semua ramuan pertunjukan wayang kulit haruslah sempurna. 

Tak Sengaja Masuk Sekolah Dalang.
Bagi Wiwik kecil kala itu, kepiawaianya memainkan tokoh-tokoh pewayangan sudah diatas rata-rata anak seusianya. Bahkan sangat unik, karena baru Wiwik yang diketahui mampu menjadi  dalang cilik perempuan. Namun kelebihan tersebut tidak lantas membuat Wiwik bercita-cita menjadi dalang perempuan profesional.

Saat memasuki bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo, pada tahun 1997 Wiwik justru memilih jurusan lain.

Awalnya saya bercita-cita jadi penari makanya saya mengambil jurusan  tari. Tapi ternyata peminatnya banyak sekali. Saya beralih ke jurusan karawitan, tapi tidak boleh sama bapak saya karena nanti larinya jadi sinden. Bapak tidak suka saya jadi sinden. Akhirnya saya masuk ke jurusan pedalangan,” ujar Wiwik menuturkan ketidaksengajaan dia masuk jurusan dalang.

Seolah sudah menjadi jalan hidup Wiwik, di kelas dalang, dia termasuk siswa yang paling menonjol. Bakatnya yang luar biasa mendapat apresiasi dari para guru. Wiwik diakui memiliki bakat yang kuat dalam mendalang. 

Ada peneliti yang mengatakan bakat kuat saya terlihat dari kemampuan saya memegang wayang dan kelincahan memainkan wayang,” kata Wiwik. 

Dari kemampuan lebih inilah,pundi-pundi rupiah akhirnya mengalir ke kantongnya. Sejak SMA Wiwik sudah berhasil mencari uang sendiri dengan mendalang. Banyak tawaran dari teman-temannya sesama seniman wayang kulit. Mereka mengajak Wiwik kerjasama untuk pertunjukan wayang kulit berbagai lakon. 


Serius Menjadi Dalang.
Seusai lulus SMA, Wiwik makin mantab melangkahkan kakinya di dunia wayang kulit. Ia serius menjadi dalang. Langkah pertama yang dilakukan adalah menemui dalang-dalang senior.
Mereka sangat berarti untuk karir saya, saya bisa berkonsultasi, belajar dan bekerja pada mereka,” kata Wiwik.

Bekerja yang dimaksud adalah Wiwik menyediakan dan menawarkan diri mewakili tugas mereka sebagai dalang pocokan, dalang siang. Yakni dalang yang menjalankan pertunjukannya siang hari.

Hampir 15 tahun Wiwik melakoni ini. Seperti lakon-lakon wayang yang dimainkannya, selalu ada perjuangan untuk menggapai kemenangan. Wiwik juga mengalami hal yang sama, masih harus merangkak lebih keras lagi untuk menggapai cita-citanya. Tak semuanya berjalan mulus. Banyak pihak yang masih belum melirik kemampuannya mendalang. Dalang perempuan masih disangsikan.

Karenanya, Wiwik  makin bertekad mendobrak tradisi pedalangan yang dianggap ranahnya kaum lelaki. Dia meningkatkan kemampuan mendalangnya dengan terus berlatih, banyak mencari kesempatan dan tidak malu untuk mencoba tampil meski tanpa bayaran.

 Menang Festival Dalang
 Usaha Wiwik mulai menunjukan hasil.  Nama Wiwik kian berkibar setelah berhasil meraih gelar dalang favorit pada Festival Dalang Wanita yang diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Komisariat Daerah (Komda) Jateng dan Dinas Pendidikan Provinsi Jateng tahun 2008.

Sebelum menang festival, selama ini Wiwik tampil mewakili Kotamadya Salatiga. Namun karena Wiwik merupakan warga Kabupaten Semarang, Wiwik pindah haluan. Ia fokus ke Kabupaten Semarang. Kemenangan Wiwik juga membuka perhatian Pemerintah Kabupaten Semarang. Wiwik banyak diberi kesempatan tampil. Dan didorong lebih maju lagi.

Sejajar Dengan Dalang Pria
 Wiwik pun bertekad menjadi dalang yang sejajar dengan dalang pria dalam kemampuan memainkan wayang. Dia ingin setiap lakon yang dibawakan dihargai dan disegani.

Dalang Wiwik juga memainkan wayang kulit secara komplet. Dengan didukung 50 pemain sekali pentas. Terdiri dari pesinden, penyanyi, dan pemain organ campursari, pelawak, pengrawit, dan peniti atau pembantu dalang. Untuk garapan ceritanya Wiwik memilih mengikuti perkembangan zaman. “ Tidak selalu berpegang pada cerita klasik yang penuh pakem tapi saya memilih berimprovisasi,” ujar Wiwik tentang gaya wayangnya. 

Meski dia juga bersedia memainkan cerita-cerita klasik tanpa tambahan musik apapun kecuali gamelan.

Untuk mendukung, pementasan wayang kulitnya, Wiwik aktif mencari bahan-bahan yang sesuai dengan perkembangan informasi. Seperti persoalan politik, kesehatan, ekonomi dan lain-lain. Dengan cara itu, pesan akan lebih beragam dan mudah dipahami masyarakat. ***

Inspirasi,
Shinta Ardhany, Salatiga, 2011.










Sabtu, 07 Juli 2012

Penyiar Radio Tuna Netra : Semangat Menjalani Dunia Barunya


“ Mbak Shinta apa kabar? Lagi dimana neh? Kapan-kapan main ke Sahabat Mata lagi ya, pengen ngobrol banyak lagi soal MC dan siaran,”

Ini bunyi sms dari Sofyan, penyiar tuna netra di Radio Sahabat Mata Semarang. Dia menjadi rajin kirim sms  ke aku, setelah aku meliput launching radionya, Radio Komunitas Tuna Netra, Sahabat Mata FM. 

Sempat kaget waktu terima sms Sofyan, karena rentangnya cukup lama dari waktu aku liputan di radionya. Sekitar 6 bulan !  Tapi Senang, ternyata Sofyan masih menyimpan nomorku. 

Dia jadi sering sms dan diskusi tentang siaran dan per-MC-an. 


Tuna netra kok bisa sms? Bisa...! Tapi dengan penuh perjuangan!  Salah satu mata Sofyan masih berfungsi, meski amaaat lemah. Jika dia sms atau men dial nomor di handphone-nya, tombol dan layar Hp dilekatkan di matanya. Amat dekat, hanya berjarak 1 cm dari mata. 

Sofyan memang buta  sejak kecil, tapi bukan sejak lahir. Seperti penyandang tunet kebanyakan, setelah buta, Sofyan berlatih dan akhirnya menjalani profesi sebagai tukang pijat. 

Namun Sofyan juga berhasil mengelola sisi lain dari dirinya sehingga ketrampilan yang dia miliki tidak hanya memijat tapi juga trampil lainnya. Dia okey banget kalau diminta tampil sebagai pemandu acara di berbagai kesempatan. 


Yap, Sofyan memiliki bakat komunikasi yang tinggi. “ Spontan dan komunikatif,” itu kesanku pertama kali saat melihatnya menjadi MC untuk launching Radio Komunitas Tuna Netra, Sahabat Mata FM. 

Ini memoriku tentang Sofyan saat itu, awal tahun 2011. 

****
Assalamualaikum,, alhamduliah meski diirngi hujan dan sedikit angin tidak menyurutkan niat kita, sampai membuat acara ini selesai” 

Suara mungil Sofyan melengking memenuhi halaman Radio Sahabat Mata. Sofyan memandu peresmian Radio tersebut. 

Awalnya aku kira Sofyan adalah perempuan, kalau dengar dari suaranya. Kecil, melengking imut.   Tapi setelah melihat fisiknya, bukan perempuan bangettt lah. Dia lelaki tulen, yang asli, masih macho dan tidak melambai sama sekali. 
 
Aku ingat, suasana hujan yang amat gerimis sore itu tak menghalangi puluhan orang untuk menghadiri peresmian radio Sahabat Mata Semarang. Mereka yang datang, para penyandang tuna netra, pejabat Kecamatan setempat, sebagian warga Jatisari( lokasi perumahan dimana Studio Radio ini berada), mahasiswa dan sebagian jurnalis. 

Kita tahu kan? Puluhan bahkan ratusan stasiun radio bermunculan belakangan ini namun Radio Sahabat Mata, berbeda. Ini radio komunitas pertama dan satu-satunya di Jawa Tengah yang dikelola dan berisi orang-orang tuna netra. Pemilik, penyiar hingga operatornya adalah peyandang tuna netra. 

Kekurangan tak menjadi penghalang untuk mereka tetap professional mengelola radio. Salah satunya ya  Sofyan tadi. Penyiar senior di Radio Sahabat Mata. ^_^

“Kami mohon pak burhan untuk membuka dan meresmikan radio sama…silahkan pak…Kita buka launching Sama fm,..mudah-mudahan bisa menjadi radio yang mewakili komunitas sahabat mata…”lanjut MC Sofyan memandu acaranya.

 Awalnya Sofyan memang MC. Dia sering diminta memandu acara di semua even para tuna netra. Keahlian MC-nya lantas membawa remaja bertubuh kurus ini menjadi penyiar. Broadcaster :) Siaran di beberapa radio kini menjadi rutinitasnya.

***
Radio Sahabat Mata mengudara dari kawasan ujung barat Kota Semarang. Karena radio komunitas, Sahabat Mata hanya melayani pendengar dalam radius 3 km saja ,  masyarakat di sekitar Kawasan Semarang barat dan beberapa kawasan Kabupaten Kendal.


Semua program siaran dijalankan oleh 6 kru radio. Risma Dewi, direktur radio Sahabat Mata, merinci dari semua kru, pemilik, penyiar dan operator radio adalah penyandang tuna netra, hanya dirinya saja yang awas atau normal. 


Selain Sofyan, masih ada Risky Ristanto.  Penyandang tuna netra berusia  15 tahun ini mengaku sangat gembira dengan kehadiran radio ini. Remaja dengan tampang sedikit  timur tengah itu lancar mengungkapkan perasaannya, setelah menjadi penyiar.  

Perasaan jadi penyiar gimana?tanyaku

   “ Seneng seh. Karena aku belum pernah siaran dimana-dimana, baru pertama kali disni." 

" Dapat apa aja? " tanyaku lagi. 

" Dapat temen,  dikenal orang!  Banyak temen. Senanggg kayak gitu, lewat  radio itu bisa terkenaaall..hehehehheee.” jawabnya sambil tertawa riang.  


     Penyiar lainnya, Jito. Pemuda 22 tahun, mantan preman yang mengalami kebutaan belum lama. 


Aku peminum berat. Semua minuman aku sikat. Yang murni yang oplosan, gasakk semua! ” ucap Jito, tenang. Tak ada kesedihan yang tertangkap dari nada suaranya. Kalau penyesalan ada seh, tapi Jito saat itu sudah terlihat ‘lebih tenang dan nrimo. 


“ Kejadiannya, saat itu di kampungku ada pesta miras. Aku ikutan.  Beberapa hari setelah itu, mabuknya sudah hilang memang. Aku sudah standar. Tapi saat aku naik motor, sore sekitar jam 5, dunia tiba-tiba gelap!!! Aku mendadak tidak bisa melihat, padahal masih diatas sepeda motor. Beruntung masih bisa minggir dan dibantu orang,” Jito melanjutkan kisah butanya. 

“ Lalu?” pancingku.

“ Sejak itu, baru ku sadari, kedua mataku sudah tidak berfungsi sama sekali. Racun miras oplosan telah menghancurkan syaraf-syaraf di mataku.” 

Hingga cerita bagian ini,aku tak berani melanjutkan pertanyaan. Sesaat Jito diam, aku ikuti saja. Sampai akhirnya ia sendiri yang melanjutkan ceritanya. 


“ Aku menjadi sangat emosian saat itu, setelah tahu aku sekarang buta! Kabeh wong nek omah, tak amuk.*Semua orang di rumah ingin ku hajar* Aku maluuuuuu ketemu teman-teman. Aku mengurunggg diri di rumah dalam waktu lama. Hanya beberapa teman akrabku saja yang ku kabari, aku buta sekarang!” masih kata Jito. 

Pemuda hitam manis ini akhirnya memiliki semangat baru setelah  bertemu Pak Basuki. 

“Aku solat Jumat di masjid Jatisari, ini perumahan kakakku. Setelah solat Jumat, aku ditemui Pak Basuki, dan diajak kemari, ke rumah Sahabat Mata ini. Diberi motivasi, pencerahan. Satu yang paling aku ingat dan membuatku ikhlas adalah ungkapan Pak Basuki, disaat seseorang diambil indra penglihatannya oleh Allah swt, itu tandanya satu pintu maksiat telah ditutup dan pintu surga menantinya,” ucap Jito lancar. 

Dan memang, sosok Jito yang kulihat saat itu, sudah tak memiliki beban. Ia sudah begitu ringan menjalani takdirnya, takdir yang disumbang juga karena kebodohannya, mengakrabi minuman keras kala itu. 


MATERI SIARAN.
Untuk materi siaran, mereka dapatkan dari pelatihan penyiaran yang diberikan radio swasta di Semarang untuk kru radio Sahabat Mata. Risma Dewi, Direktur Radio Sahabat Mata menuturkan tak ada kendala dalam melatih mereka. 


 Sebelum siaran, saya latih olah vocal, latihan siaran 3 hari, mereka juga suka cuap-cuap narsis dibelakang mix, mereka tinggal main mixernya saja, keyboard mereka sebelum siaran dah bisa dulu, komputernya, dari tahun dulu dah bisa computertutur Risma. 

Bukan hanya lancar bersiaran, para penyiar radio Sahabat Mata ini mahir mengajari siaran para penyiar remaja. Ada satu program yang mereka khususkan untuk memberi kesempatan pelajar bersiaran. Mereka menyebar brosur kesekolah-sekolah tentang program ini.  Anggun, salah satu siswa yang tertarik mengikuti pelatihan siaran tersebut.

Kebeneran, sblmnya pengen,gmn jd penyiar radio, ya pengene cari pengalamam ttg penyiar radio gmn. Yg ngasi tau, ada undangan dari sini ke sekolahan. Terus kasi buat ikutan disni,” kata Anggun. 


IDE RADIO DARI BAKAT-BAKAT LUAR BIASA
Dari mana ide radio ini berawal. Basuki, ketua Yayasan Sahabat Mata sekaligus pendiri radio tuna netra menyatakan ide mendirikan radio muncul setelah dirinya mengetahui bakat-bakat luar biasa  komunitasnya dari pentas teather tuna netra. Semua dilakoni tuna netra, kecuali make up dan lighthing. 

Karena kebetulan temen-teman kan punya bakat tersendiri, ada yang suka ngomong, ada yang musik. Kalau bakat-bakat seperti ini tak dikembangkan, kan susah, sementara untuk mengembangkan potensi itu kita lihat dari radio” jelas Basuki. 

Tahun 2008, proses pembuatan radio komunitas tuna netra dimulai. Basuki mengumpulkan dana dari banyak pihak, iuran anggota komunitas sampai sponsor. Perlengkapan siaran didapat secara bertahap. 

Total 10 jutaan, pertama kali computer, ada 4. Yang buat apa saja, untuk belajar. komputer diradio 1, yang lain untuk latihan teman-teman disni, latihan komuter biasa, buat nulis, kenal kompuer operasikan, semua dilengkapi system jowz..screen reader,pembaca layar, kita instal agar tampilan dimonitor bisa berubah jadi audio.” 


Radio Sahabat Mata sudah mengudara 2010. Memulai siaran jam 3 sore sampai jam 10 malam. Radio yang memakai tagline menuju jalan cahanya ini fokus pada program dakwah, pendidikan hiburan dan motivasi.
 
Berjalan dengan kru yang minim dan para penyandang tuna netra tak menyurutkan semangat awak radio untuk mengikis stigma dari masyarakat yang selama ini kerap mereka terima. 

Banyak sekali yg kita terima, stigma di masyarakat, selain tukang pijat, minta-minta.  Jadi saya sering terjadi masuk toko sebelum ngomong sudah disodori uang dulu,500 -1000, dkira minta-minta,  padahal kta mau beli,” curhat Basuki. 

Inspirasi
Shinta Ardhan, Semarang, 2012