Tidak puas
dengan keberadaan media umum dalam memaparkan tulisan tentang narkoba, mantan
pecandu dan mantan napi narkoba di Semarang membuat media sendiri, majalah
Ngoce. Melalui majalah ini mereka suarakan kejujuran, pemberontakan sampai terapi
kesembuhan lewat menulis.
***
“Aku makai dari kelas 3 SMP
makai jenis obat-obatan pil bego. Kelas
1 SMA gelek dan sabu. 2SMA jualan gelek sabu nya dah kurang. Malah sakau. Waktu
kelas 2 SMA jualan ganjan buat nutup kebutuhan sakauku,”
Cerita ini mengalir dari Kosa, bekas pecandu dan napi kasus narkoba
yang kini menjadi salah satu jurnalis di Majalah Ngoce Semarang.
Kosa bertekad, melalui
majalah Ngoce ini, dia dapat membantu kawan-kawannya untuk keluar dari jerat
narkoba jika tidak ingin seperti dia.
“ Total pake 10-11 tahun. Efek kesehatan? Hepatitis C. Liver. Rata-rata
aku liat dari teman-teman yang lain putau suntik 90% hepatitis c. Aku ga pengen
temen-temen ngalamin apa yg aku alamin, temen-temenku ku MD gara-gara OD,
hepatitis liver pecah”tutur Kossa.
Segala ide yang ada di kepala
Kosa kini tertuang bebas lewat Majalah Ngoce. Majalah ini merupakan media
komunitas bentukan LSM Performa, LSM pendamping para pecandu dan bekas pecandu
Napza Semarang.
Menurut Ivone Sibuea, koordinator
LSM Performa majalah Ngoce awal terbentuknya karena komunitasnya merasa tidak
puas dengan keberadaan media umum dalam menyampaikan pemberitaan tentang
narkoba.
“Kita kan temukan materi narkoba
itu-itu mulu yang stereotipe. Jadi TV,baliho, stop narkoba. Narkoba itu maut
neraka, tidak pernah memberikan edukasi buat kawan-kawan yang sudah terlanjur
makai bagaimana? Bagaimana
menyelematkan nyawanya? Bagaimana meperpanjang umurnya, bgaiamana keluar dari
narkon.” Kata Ivone.
Seruan ini meluas setelah melihat hasil riset yang
dilakukan LSM Performa.
“ Tahun 2007, riset pertama 12 kota, yang ke 2 ini cm 4 kota. Di kota-kota
besar di Indonesia, tingkat pelanggaran Polisi terendah sampai tertinggi di
provinsi masing-masing terjadi, dari penyuapan, kekersan pelanggaran HAM
penangkapan yg tidak prosedural. 70% keatas terjadi dari kasus-kasus yg kita
wawancararai,” tambah Ivone lagi.
Maka munculah Majalah Ngoce,
media terobosan komunitas pecandu dan bekas pecandu napza untuk mencari jalur
edukasi yang baru dan turut mengubah kebijakan. Majalah yang terbit satu bulan
sekali ini berisi kumpulan karya para pecandu
narkoba. Isinya dari Laporan utama, feature, komik, profil dan informasi mengenai narkoba.
Nama Ngoce diambil dari istilah
Semarangan yang berarti, ‘kumpul sambil minum-minum’. Kumpul disini sekarang
bermakna lain. Para bekas pecandu dan pecandu aktif napza, menyatu untuk
menyuarakan perubahan melalui media.
Kosa, bekas pecandu berat putau
yang kerap keluar masuk penjara ini didapuk untuk mengisi halaman feature.
Tulisan yang dihasilkan,tanpa wawancara, cukup menuangkan pengalamannya secara
natural.
“Tulisan yang paling diingat?
Yang aku inget buprenorpin. Diberikan oleh dokter sebagai terapi subtitusi
heroin. Buprenorpin , heroin sintetis. Nulisnya kan aku ga pernah melarang
mereka pakai buprenorpin dengan cara apapun, kalo mau sembuh pakelah dengan
cara yang benar, dengan cara sub lingual. Di taruh dibawah lidah mpe hancur
sendiri,”
Berbeda dengan YOGA, bekas penikmat ganja yang
didapuk membuat komik ini mengaku
menulis bukan sekedar menyampaikan ide tapi juga menjadi langkah terapi yang
efektif .
“Satu
hoby , dua karena niat juga buat terapi, terapi bagus juga. Hubunganne apa? Nulis ma terapi? Buat
ngalihin aja, harus pake harus pake, nulis kan bisa ngalihin, bisa
cerita-cerita narkoba Misalnya temen-teman
cerita saya salin dulu terus saya kembangkan. Nama kan bukan asli, john ngoce
atau lek rebo. Nama-nama lucu,” ungkap Yoga.
Hasil tulisan mereka memang tidak
dibebani teori-teori jurnalistik yang muluk-muluk. Mereka hanya menulis
testimoni. Tapi unggulnya kata Genry Amalo Pimpinan Redaksi Majalah Ngoce
tulisan mereka lebih memiliki jiwa.
“Bedanya pada nilai, soul kadang ada pengalamanan yang sulit.
Tanpa bermaksud deskriminiasi ada
hal-hal yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, pengguna napza, adiksi.
Kenapa mereka mencuri? Karena adiksi. Kenapa mereka keluar masuk penjara,
karena adiksi. Nah bagaimana menggambarkan adiksi, mereka lebih jelas
mengungkapkannya. Wartawan menulis tanpa soul.kecuali jika wartawannya sendiri
juga pecandu napza,” jelas Genry.
Layaknya media umum, Majalah
Ngoce juga memiliki sasaran target pembaca. Bukan hanya di Semarang dan
kota-kota lain di Jawa Tengah, peredaran Majalah Ngoce juga sampai ke
Provinsi-Provinsi lain. Kata Ira Hapsari, koordinator media Performa, medianya
memiliki sasaran khusus.
“Bagi temen-temen yang gak menggunakan napza kalau baca pasti begini,
ih kok kayak gini kok kayak ngajarin. Kita memang segmennya ke temen-temen yang
menggunakan napza. Supaya bisa menjaga kesehatannya, tidak parah,” kata Ira
“ Sasarannya mereka yang rentan dengan napza, komunitas musik, keluarga
pecandu dan lain-lain,” kata Ira lagi.
Isi di majalah Ngoce pastinya
tidak mungkin didapat dari media umum. Menurut Ira, Masyarakat kita tercuci
oleh spanduk-spanduk berprestasi tanpa narkoba, pakai narkoba masuk neraka,
itukan buat masyarakat jadi stigma juga
bahwa pecandu itu tak berguna, pecandu tu sampah tapi tanpa membantu mereka menemukan
jalan keluar dari jerat obat-obatan terlarang itu.
Suryani, salah satu anggota
keluarga dari pecandu napza, mengaku ringan membaca tulisan di Majalah Ngoce
karena bahasanya mudah dimengerti.
“Terhibur sama tau dunia napza.
Bantu seseorang biar berhenti, bisa. Dapetin majalah itu, Ya dibaca,
kata-katanya mudah dipahami, kata-katanya ga ribet,”
Selain sederhana, Majalah Ngoce juga
jujur. Mengungkap segala sisi kehidupan pecandu dan bekas pecandu narkoba.
“12 jam digebukin tanggal 3 mei
2003, sabtu jam 11 siang kita ketangkep di kontrakan bandar. Habis tu langsung
dibawa ke polres salatiga, begitu masuk di polres salatiga, kita di borgol
semua di borgol mata kita di tutup ama plester, ngasi pelajaran justru gak
dapet,”Ungkap Kossa lagi.