Sabtu, 23 Juni 2012

Penderita Lumpuh Langka Boyolali: Belum Ditemukan Obatnya, Mereka Menanti Ajal

“ Kakak saya yang membuat saya tegar dan bertahan, kalau tidak ada saya siapa yang ngurus kakak saya?” tutur Asih Fajar Wulan penderita lumpuh langka di Boyolali. Asih yang lumpuh harus tegar dan mandiri merawat kakaknya yang juga lumpuh bahkan kondisinya lebih parah. Tak bisa bergerak, tidak bisa bicara dan komunikasi hanya disampaikan melalui jerit tangis.

 
Asih, salah satu penderita lumpuh langka di Boyolali.
 ***
Saat bersama mereka, atau setelah aku kembali dan membuat tulisan ini berkali-kali aku tak dapat menahan air mata. Betapa tak terbayangkan bagaimana mereka bertahan dan menjalani hidup mereka.
Ada inspirasi luar biasa dibalik derita keluarga ini. Selamat membaca.

***

 “ Aku ingin jadi penyanyi. Suaraku dulu bagus. Aku suka nyanyi di acara kampung gabung dengan grup rebana,” tutur Asih Fajar Wulan(20) terbata-bata. Gadis ayu berkulit putih bersih ini tampak menunduk dan menahan tangis saat menceritakan mimpinya. Mimpinya yang belum sempat terwujud, mimpi yang terpaksa ia kubur setelah ia menderita lumpuh. Asih tidak sendiri. Kelumpuhan juga dialami 3 saudara kandung dan puluhan sepupunya.

Asih sempat menjadi gadis normal, bermain dan bersekolah dengan teman-teman lainnya. Anugerah ini ia rasakah hingga umur 18 tahun. Sementara derita lumpuh mulai dialaminya 2 tahun lalu.

“ Saya tidak tahu awalnya bagaimana tiba-tiba saja kalau jalan saya sempoyongan,gluyuran dan badan lemes gitu,” kata Asih mengawali cerita lumpuhnya. Dia mengalami tahap-tahapan kelumpuhan dari gejala ringan hingga makin parah. Dari tidak bisa berdiri tegak, lalu tidak bisa berjalan dan akhirnya ia harus menjalankan aktifitas dengan merambat.

“Saya juga mulai cadel, bicara susah dan tidak jelas. Ini saya alami selama kurun waktu dua tahun belakangan ini,” kata gadis ayu berambut panjang ini. Meski sesekali  terisak saat menceritakan perjalanan hidupnya namun Asih tampak berusaha tegar. Disamping saya, dia beberapa kali menyebut ada seseorang yang membuatnya tidak berputus asa menjalani takdirnya. Aji Wardani (24), adalah satu-satunya saudara perempuannya. Seperti Asih, Aji juga mengalami kelumpuhan. Bahkan kondisinya lebih parah. Aji sudah tidak bisa melakukan aktifitas apapun. “Mbak Aji sudah tak dapat bicara. Komunikasi dengan orang lain ia sampaikan lewat jeritan.Misalnya badan dia pegal ingin pindah posisi tidur, dia hanya menjerit untuk menyampaikan maksudnya ,”  tutur Asih.

Sudah 4 tahun terakhir ini Aji hanya terbaring. Bahkan untuk menggeser badan atau kepalanya ia tak bisa melakukan sendiri. Ia butuh bantuan orang lain. Dan adiknya lah, satu-satunya teman dan perawat setianya selama ini.

“Sehari-hari saya menemani kakak saya, duduk disamping tempat tidurnya. Menghiburnya, walaupun dia tidak bisa bicara tapi saya tak lelah mengajaknya bicara. Melayani dia mandi, makan dan minum,” tutur Asih dengan mata tersenyum. Mencoba mengingat banyak kenangan manis bersama kakaknya saat mereka masih sama-sama sehat dan lincah. Keduanya adalah kakak beradik yang sangat kompak. Kemanapun selalu berdua. Apalagi hanya mereka anak perempuan dalam keluarga besar tersebut.

Aji mulai mengalami lumpuh sejak umur 15 tahun. Dari gejala ringan hingga parah seperti sekarang ini. Tubuh Aji pun tinggal kulit membalut tulang. Badan Kurus dan kering. Syaraf bicara tak berfungsi. Namun hatinya masih hidup. Berkali-kali dia ikut tertawa saat saya mencandai kakaknya. Dia ingin ikut merasakan tertawa lepas dan bahagia.

Dua saudara Asih yang lumpuhnya lebih parah. 
Aji wardani, komunikasi hanya lewat jerit tangis

Aji, yang hanya bisa teriak dari ranjang kumuhnya.

 

SEJARAH LUMPUH SATU KELUARGA
Asih dan Aji adalah sebagian kecil dari anggota keluarga mereka yang mengalami kelumpuhan. Dalam satu anggota keluarga, hanya satu yang masih normal. Saya bertemu semua anggota keluarga lumpuh ini. Anak pertama Nur Ehsan Aris (37) mulai mengalami gejala lumpuh. Kakinya mengecil dan jalannya limbung. Anak kedua Muhtadin (35) satu-satunya yang masih normal. Dan sangat tegar. Tak pernah ada air mata yang tertahan saat menceritkan derita saudara-saudaranya. Melalui wajah dan matanya ia ingin menunjukan, dia tidak putus asa.
Anak ketiga, Ahmad Yuli Subani (26) kondisinya sama dengan Aji. Sangat parah. Lumpuh total dari kepala hingga kaki. Semua syaraf sudah tidak berfungsi.Sementara Aji dan Asih si bungsu, adalah dua anak perempuan yang berurutan.
Semua penderita lumpuh ini tinggal dalam satu rumah. Rumah kampung berlantai tanah, berbentuk joglo dan  sangat luas namun tak banyak isinya. Hanya ada meja makan dan 3 ranjang besar.  Ranjang paling dalam, menjadi tempat dua kakak beradik Asih dan Aji. Aji hanya berbaring dan Asih duduk disampingnya. “ Saya masih bisa main Hp, sms temen-temen mencari hiburan,” kata Asih. Sementara ranjang di depan,menjadi tempat Yuli menghabiskan hari-harinya.
Pertama  saya masuk ke rumah mereka, salam saya tak ada yang menjawab. Saya ulangi salam lagi. Dan...tiba-tiba dari balik ruang tamu ada suara laki-laki menjawab salam saya dengan jeritan dan mengerang kesakitan. Saya menengok ruangan itu. Tampak sesosok tubuh remaja laki-laki tergolek diatas ranjang yang hanya beralas tikar. Tubuhnya kurus kering, serta penuh luka bekas sakit kulit. Dia tampak ingin bangun dan duduk untuk menerima kedatangan saya. Berkali-kali ia gerakkan badannya dan berusaha duduk namun tak kuasa. Ia kembali roboh di ranjang yang cukup keras itu.
Diruangan lain saya diterima Asih, yang menemui saya dengan merambat keruang tamu. Meninggalkan kakaknya Aji yang terbaring di kamar.
Satu keluarga lumpuh ini memiliki riwayat lumpuh yang berbeda. Muhtadin, satu-satunya anggota keluarga yang masih normal ingat betul kondisi yang dialami saudara-saudaranya.
“Dari semua saudara saya ini, tahapan lumpuhnya berbeda-beda. Yang baru gejala kakak pertama saya Mas Ehsan. Kondisi kedua, Asih, dia masih bisa sedikit melakukan aktifitas meski merambat. Sementara yang paling parah Aji dan Yuli,” kata Muhtadin.
Meski gejala yang mereka alami hampir sama, bermula dari jalan sempoyongan, kehilangan keseimbangan badan dan lemas. Namun masa datangnya penyakit berbeda-beda. “ Yang paling awal Yuli, dia mulai lumpuh sejak kelas 5 SD. Kedua Aji, sejak kelas 3 SMP, ketiga Asih mulai umur 18 tahun dan terakhir mas Ehsan sudah 1,5 tahun terakhir meraskan gejala lumpuh,” terang Muhtadin. Tak hanya itu kedua orang tua mereka,sang Ayah Sutejo dan Ibu Mutiah, sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu akibat penyakit yang sama seperti yang diderita keempat anak kandungnya  sekarang.

KERJA JAGA WC SAMPAI KULI UNTUK HIDUPI KELUARGA
“Sejak orang tua meninggal, saya bertekad mengambil alih peran Bapak Ibu dalam merawat dan menyayangi adik-adik saya,” tutur Muhtadin tegas. Sepeninggalan kedua orang tuanya Muhtadin, satu-satunya yang masih normal, berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Pria lulusan SD ini rela melakoni banyak pekerjaan kasar demi menyambung hidup saudara-saudaranya. Ia pernah bekerja sebagai penjaga WC di Surakarta, bekerja sebagai buruh bangunan dan pekerjaan serabutan lainnya. “ Niat saya ibadah, kerja dan cari uang halal. Tak peduli apapun pekerjaanya,” tuturnya bersemangat. Meski hanya dia satu-satunya yang masih dapat bekerja.
Tiap hari ia harus mengeluarkan banyak biaya. Untuk kebutuhan makan 7 orang di rumahnya, bersama kakak ipar dan ponakannya, anak dari Ehsan. Muhtadin sadar,saudara-saudaranya yang lumpuh sebenarnya masih membutuhkan makanan bergizi, untuk menopang energi dan ketahanan fisiknya. Namun karena hanya dirinya yang masih dapat bekerja itupun serabutan, hasilnya hanya makanan ala kadarnya yang dapat dia berikan kepada saudara-saudaranya yang lumpuh tersebut.” Nasi, mie dan krupuk menjadi makanan sehari-hari mereka, ” tutur Muhtadin miris.
Sementara kebutuhan utama lainnya adalah pampers. Dua adiknya Aji dan Yuli, yang sudah lumpuh total, sangat bergantung pada popok tersebut. Dalam satu hari mereka bisa menghabiskan 10 pampers. Bisa dihitung berapa besar biaya yang harus dicari oleh Muhtadin untuk kebutuhan khusus adik-adiknya itu. “ Saya tak sempat lagi berfikir mencari obat atau kesembuhan. Karena untuk kebutuhan sehari-hari saja saya harus berjuang keras karena sangat banyak biaya yang diperlukan. Sudah banyak usaha sebelumnya tapi tak pernah ada hasil maka saya sekarang memilih pasrah dan berdoa,” kata Muhtadin dengan tatapan nanar. Uang yang didapat lebih baik ia gunakan untuk makan bersama adik-adiknya daripada berobat.
“ Saya sadar, saudara-saudara saya masih ingin sehat, ingin sembuh tapi bagaimana lagi keadaan ini harus kami lewati dan kami hadapi. Saya juga menyadari dengan tidak berbuat apapun untuk saudara-saudara saya yang lumpuh ini sama halnya dengan membiarkan mereka menunggu ajalnya,” ucap Muhtadin lirih.
Dari seluruh anggota keluarganya yang mengalami lumpuh, tak ada satupun yang sembuh atau membaik. “ Semuanya meninggal. Dari gejala, parah sampai meninggal rentang waktunya berbeda-beda.Ada yang mampu bertahan 3 dan 5 sampai 8 tahun,” kenang Muhtadin.

KISAH LUMPUH SEPUPUNYA
Tak berbeda dengan saudara-saudara kandungnya, Sri Lestari (24) saudara sepupu Muhtadin juga mengalami kelumpuhan. Gadis lembut bermata bulat ini mengalami gejala lumpuh sejak umur 20 tahun. Berbeda dengan Asih yang berusaha tegar, Tari tampak lebih sensitif. Saat saya datang ke rumahnya dan mengajaknya berbicara, Tari lebih banyak menangis. Ia tampak begitu terpukul dengan musibah yang menimpanya. Sebelum lumpuh, Tari adalah gadis periang, lincah dan penuh kreatifitas. “ Saya dulu pernah lajo Boyolali Solo untuk sekolah dan kerja, dulu tidak ada masalah,” ucap Tari dengan suara cedalnya yang tertelan tangis. Tari merampungkan sekolahnya di jurusan tata boga di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Surakarta. Setelah lulus ia sempat magang di dapur Rumah Sakit Tulang di Surakarta. Keinginan kuatnya menjadi chef membuatnya bertekad mencari banyak pengalaman.
Seperti mengulang nasib sepupunya, Tari juga terpaksa mengubur cita-citanya karena kini hidupnya berada diatas pembaringan dan kursi roda. Kondisi Tari tergolong parah. Ia sudah tidak dapat banyak bergerak. Semua aktifitas dibantu sang ibu. Syaraf bicaranya yang paling cepat memburuk.
Tari memiliki satu saudara kandung. Kakak laki-lakinya masih sehat dan bekerja sebagai perangkat desa. Hanya dengan kakak dan ibunnya, Tari melewati hari-harinya karena sang Ayah sudah meninggal beberapa tahun lalu karena penyakit yang sama. Suwarni ibu Tari kini mengambil alih menghidupi keluarga dengan membuka warung klontong di rumahnya.
“Awalnya warung ini saya buat untuk Tari tapi lama-lama kok dia tidak bisa berdiri dan bergerak...” suara tegar Suwarni seketika berubah menjadi tangis.
“Saya sudah habis banyak biaya untuk mengobatkan Bapaknya, sekarang saya tinggal punya rumah ini saja,” sambungnya dengan suara parau.

LUMPUH 5 GENERASI
Dua keluarga yang mengalami kelumpuhan itu bukan yang pertama. Menurut Muhtadin generasi pertama yang mengalami kelumpuhan ini adalah kakek buyutnya. Cikal bakal generasinya menderita penyakit itu  sejak tahun 1940-an. Hingga sekarang jumlah total keluarga yang lumpuh ada 35 orang. “ Kami adalah generasi kelima,” tutur Muhatadin.
“Dari 35 orang anggota keluarga saya yang meninggal sudah 20 orang, sisanya masih tanda tanya. Juga untuk yang belum terkena sakit, memang ada kekawatiran tapi harus kami siap menghadapinya,” sambungnya.
Awalnya keluarga Muhtadin menyimpan rapat-rapat penyakit genetik yang diderita keluarganya. “ Kami merasa itu sebagai aib,” katanya singkat. Namun lama kelamaan mereka menyerah. Setelah banyak upaya yang ditempuh keluarga tidak membuahkan hasil. Pengobatan dimanapun tak ada yang mampu menyembuhkan penyakit lumpuh lima generasi tersebut. Biaya sudah habis, harta benda terkuras untuk pengobatan. Akhirnya mereka sepakat membawa persoalan ini ke media. “ Kami membutuhkan bantuan. Yang utama adalah bantuan psikologis. Dengan kami ungkap di media, kami yakin akan banyak pihak yang membantu,mencarikan jalan keluar. Menyelidiki penyakit keluarga kami syukur-syukur mengobatinya,” kata Muhtadin.
Hasilnya banyak simpati berdatangan, banyak pihak mencoba menawarkan jalan keluar. Pemerintah Kabupaten Boyolali langsung turun tangan. Memberikan pengobatan gratis kepada penderita lumpuh genetika itu. Semua penderita lumpuh sempat dirawat di RSU Pandanarang Boyolali selama 10 hari. Pasien dirawat dan diteliti penyakitnya.
Tim Medis RSU Boylali menegaskan penyakit yang menyebabkan kelumpuhan satu keluarga di Boyolali ini bukan penyakit menular sehingga masyarakat tidak perlu cemas dan mengucilkan penderita.

KEDOKTERAN INDONESIA BELUM TEMUKAN OBATNYA.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali Dr Yulianto Prabowo menyatakan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim medis RSU Pandanarang Boyolali, mereka menderita lumpuh genetika. Hal ini berdasar riwayat penyakit yang sudah terjadi pada lima generasi keluarga penderita.
Jenis penyakitnya adalah friedreich ataksia. Berupa gangguan progresif secara bertahap pada susunan syaraf pusat dan otot yang disebabkan oleh penyakit genetika autosomal resesive. Penderita mengalami kegagalan kontrol otot pada tangan dan kaki sehingga menghasilkan kurangnya keseimbangan dan gangguan fungsi seluruh syaraf.
“ Penyakit ini termasuk langka, mengenai 1: 50 ribu jiwa,” kata Dr Yulianto
Gejala dan waktu penyerangan penyakit ini berbeda-beda tergantung tipe ataksia. Dapat menyerang pada  usia anak-anak, usia 20 tahun-30 tahun bahkan 60 tahun.
“Tim medis sudah menemukan jenis penyakitnya. Namun belum menemukan obatnya. Obat yang kami berikan hanya berfungsi untuk memperlambat kematian penderita karena fungsi-fungsi syarafnya masih kami bantu dengan obat,” terang Dr Yulianto.
Hasil penelitian RS Muwardi nantinya akan dijadikan rujukan Ilmu Kedokteran Indonesia untuk menangani penyakit ini. “ Di Indonesia juga belum memiliki laboratorium yang bisa mendeteksi apakah seseorang memiliki gangguan ataksia atau tidak,” jelasnya.
“ Semuanya berakhir dengan kematian.  Yang jelas apa adanya akan kami hadapi dengan ikhlas. Kami siap berusaha tapi kami juga siap menerima hal terburuk. Kami hanya meminta kepada Allah, semoga iman kami tetap kuat menghadapi ini, “ tutur Ehsan, si sulung yang mulai diserang lumpuh langka ini sejak 1,5 tahun terakhir ini. 


Boyolali, 7 Mei 2011.
Shinta Ardhany.






Asih,

Ibu Orang-Orang Terbuang



Priskila,Ibu dari orang-orang terbuang

 ***

Teriakan gembira memenuhi salah satu ruangan kelas di Sekolah Kehidupan atau The School Of Life  Semarang, milik Priskilla Smith Jully saat sang kepala sekolah memasuki ruangan itu.

“Mami, mami...datang,” teriak murid-murid di dalam kelas tersebut. Para murid yang dimaksud adalah mereka, anak-anak asuh, pasien atau bisa juga disebut sebagai keluarga The School of life. Mereka terdiri dari  penderita cacat fisik,depresi gangguan jiwa, penderita stroke, korban perkosaan,bayi yang dibuang orang tuanya, anak-anak korban perceraian dan lain-lain. Sekitar seratus orang, tinggal di tempat tersebut.
Sambutan hangat mereka saat Priskila datang menunjukan betapa hubungan Priskila dengan “anak asuh”nya amatlah dekat.






Saat ini sudah menjadi tahun ke enam, Priskilla menjadi ibu bagi orang-orang terbuang yang ditampung di sekolah kehidupan miliknya. The School of life. Sekolah ini berdiri tahun 2005. Berdirinya sekolah ini bermula dari kisah hidup Priskilla.

KORBAN ABORSI
Ia mengalami kebutaan sejak lahir. Cacat ini bukan tanpa sebab. Sejak dalam kandungan orang tuanya beberapa kali berupaya “membunuhnya” dengan melakukan aborsi. Dari cara tradisional sampai medis. Namun tidak berhasil. Priskila tetap lahir ke dunia ini meski akhirnya tidak utuh. Kehadiran Priskilla sebenarnya tidak diharapkan orang tuanya. Karena jarak kelahiran dengan kakaknya terlalu dekat dan orang tuanya tidak mengingkan anak keduanya sama-sama perempuan.

Hubungan Priskilla dengan orang tuanya sempat memburuk. Meski akhirnya ia memaafkan orang tuanya.  Priskila sempat tumbuh menjadi anak yang frustasi. Pernah suatu saat dia memiliki niat untuk bunuh diri. Namun seorang teman menyadarkan dan mengajaknya terlibat sebagai aktifis gereja. Dari sinilah kehidupan barunya dimulai.
“Setelah menjadi aktifis gereja saya mulai merantau. Dari Jambi kota kelahiran saya, kemudian ke Medan dan terakhir di Semarang. Tahun 2004 saya mengikuti pendidikan karakter di Ungaran. Disana saya bertemu dengan dosen  dari Amerika, Tony Barnet. Dia bercerita tentang dream centre miliknya yang berguna untuk menampung orang-orang yang dilantarkan. Cerita dia memotivasi saya melakukan hal yang sama, meski awalnya saya ragu. Mampukah saya? Saya bukan orang kaya?” tutur Priskilla.

Jalan menuntun Priskilla mewujudkan mimpinya, memiliki dream centre untuk menampung orang-orang yang terbuang dan tidak diinginkan hidupnya. Priskilla mulai bekerja sebagai penyiar di radio Rhema Semarang. Ia mulai memiliki uang sendiri dari gajinya. Ia manfaatkan gajinya untuk merawat Merry, perempuan lumpuh yang baru saja menjadi yatim piatu. Ia ajak Merry hidup bersama di tempat kosnya. Ia beri perhatian dan menanggung hidup Merry. Dari Merry hingga kini berlanjut menjadi seratusan anak asuhnya yang ia tampung dalam The School of Life miliknya. Salah satunya, sekolah ini terwujud dari kepedulian orang-orang yang mengetahu cita-cita mulianya. Disamping juga usaha Priskilla.




Fandy calon profesor yang memperistri Priskila.
Di sekolah kehidupan ini Priskilla menampung orang-orang terbuang untuk dibina,diberi pendidikan, diberi harapan hingga mereka dapat percaya diri dan mandiri. Priskilla tak sendiri dalam mengasuh mereka. Ia melibatkan suaminya Fandy Kusuma sebagai orang tua asuh yang utama di sekolahnya.

Fandy bagaikan malaikat bagi Priskila. Yang selalu mendukung apa yang dilakukan Priskila,mencintai orang-orang terbuang. Dengan kesetiaan kesabaran,keikhlasan dan cinta Fandy. 

Fandy,pria tampan calon profesor yang langganan cum laude, dan musisi hebat. Dia bertemu Priskila saat menjadi narasumber pada sebuah talk show radio. " Sesaat melihat Priskila,hati saya langsung berkata,yakin...ini jodoh saya," Fandy menuturkan cerita cintanya. Tak lama, Fandy akhirnya meminang Priskila. Dankebahagiaan mereka kini makin lengkap dengan hadirnya 2 buah hati.

THE SCHOOL OF LIFE dan
Selain Priskila dan suami, Fandy, sistem pendampingan di school of life juga didukung para mentor, yang terdiri dari anak-anak muda yang bersemangat membantu sesama di sekolah ini. “Mereka sarjana dari berbagai jurusan termasuk psikolog yang memanfaatkan ilmunya disini,” kata Priskilla.

“Tak hanya menerima, kami juga menjemput orang-orang terbuang untuk kami rawat disini,” ujar Priskila. Bersama suaminya, ia menjemput bayi yang dibuang orang tuanya. Pernah suatu ketika ada bayi lahir buta dan tidak dikehendaki orang tuanya karena cacat mata. Ia menjemput bayi itu dan merawatnya.

MERAWAT MODEL YANG DEPRESI.
Tak terbayangkan, hidup bersama seratusan murid yang rata-rata mengalami gangguan fisik parah dan gangguan kejiwaan. Saat aku datang ke sekolah kehidupan priskila ini, sudah bisa ditebak aroma khas ruangan yang berisi orang-orang sakit jiwa. Belum lagi celoteh para penghuninya yang tidak karuan. Jika tidak benar-benar sabar dan ikhlas, rasanya sulit menerima kehidupan mereka.







“Aaaw....” teriakku kaget saat menginjak lantai  basah. Aku hampir terpelest. Disampingku tampak seorang nenek tertawa lebar menatapku. Ooo..rupanya, basah-basah dilantai tadi adalah ompol nenek ini.

Selain menatap si nenek, pandanganku juga menyapu seluruh ruangan. Diujung ruang tampak duduk seorang gadis, rambut lurus panjang, badan langsing dan berkulit bersih. Kaki jenjangnya sangat terlihat dari hot pants yang dia pakai. 

“ Dia model,” bisik seorang mentor. ‘Ooo..pantas sisa-sisa ke-sexy-an nya masih terlihat meski dalam keadaan tekanan jiwa yang cukup berat. Ditinggalkan kekasihnya dalam keadaan hamil. Sang model tak kuasa menahan tekanan batin yang berujung pada sakit jiwanya.Aku sengaja tak mengambil gambarnya. Dari cara memilih tempat duduk saja,sendirian diujung ruangan, menandakan  dia "masih bisa merasakan tidak nyaman" dipandang orang lain.

TAK ADA SYARAT KHUSUS
Prsikilla tak memasang  syarat yang berat untuk calon-calon anak asuhnya.” Mereka benar-benar orang-orang terbuang yang sudah tidak memiliki siapa-siapa. Mereka akan kami terima, kami ajarkan arti kehidupan,” ungkap ibu dari 2 anak ini.
Banyak diantara anak asuhnya yang tidak memiliki keluarga. Bahkan alamat keluarga yang diberikan ternyata fiktif. Priskilla tetap menerima dan menampung mereka tanpa memberi batas waktu. Perempuan berparas ayu ini bahkan tidak memungut bayaran sepersen pun dari keluarga anak asuhnya.

Priskilla yang akrab dipanggil mami oleh anak-anak asuhnya ini, selain dekat secara pribadi ia juga hafal semua  tingkah laku dan kebiasaan seluruh anak asuhnya. Sapaanya yang hangat dan ramah cukup menjadi motivasi kuat untuk bangkitnya percaya diri anak-anak asuhnya.

Menjadi Motivator
Semangat yang tak kenal menyerah itu membuat The School of Life terus maju. Saat ulang tahun Kick Andy di Metro TV baru-baru ini, Priska terpilih menjadi salah satu dari tujuh penerima Kick Andy Heroes 2011. Juga mendapat penghargaan KARTINI Award 2011.

Pemerintah Provinsi Jambi juga memberinya penghargaan sebagai putra daerah yang inspiratif karena  kepeduliannya terhadap orang-orang terbuang

Priskilla kini aktif menjadi motivator di berbagai media. Beberapa stasiun radio di Semarang bahkan mengontraknya menjadi pengisi acara tetap selama 2 tahun untuk program motivasi.


Semarang Juli 2011
Shinta Ardhany  

Selasa, 19 Juni 2012

Bidan Selamatkan Balita Gizi Buruk Dengan Tempe

Perjuangan bidan Debora Harmi Budhi W,memang layak mendapat apresiasi. Tak salah jika akhirnya dia meraih Srikandi Award 2010 untuk kategori Millenium Develpoment Goals 4( menurunkan angka kematian anak).

Sebagai bidan yang bertugas di kawasan padat penduduk di  Kota Semarang, tepatnya Desa Gasem Sari Kelurahan Kel Tlogomulyo Kecamatan Pedurungan Kota Semarang ia banyak menemui kendala. Apalagi, kampung tempatnya bertugas, merupakan kawasan yang dihuni banyak mantan preman dan PSK. 

ini tulisan dan foto-foto ku yang pernah dimuat di Majalah Kartini

***

Tak sulit untuk menemukan tempat tinggal Debora Harmi. Begitu memasuki kawasan perumahan Graha Mukti Utama banyak warga dengan mudahnya akan menunjukkan alamat rumah bidan tersebut. Debora Harni tinggal di Jalan Selomukti F/262 Semarang, kawasan yang berdekatan perumahan padat penduduk di ujung timur kota Semarang.

Perempuan kelahiran Pati, 30 Oktober 1968 ini mulai menempati rumahnya di Semarang sejak tahun 1998. Saat yang sama dia kuliah mengambil studi lanjutan kebidanan dan bekerja di RS Panti Wiloso Semarang.

Selama dia tinggal di perumahan tersebut, dari tahun 1998 sampai tahun 2000, Debora melihat banyak keadaan yang memprihatinkan. Kawasan yang jauh dari banyak sarana, baik sarana kesehatan, transportasi, ekonomi dan lain-lain. Kawasan perumahan warga hanya dipenuhi lahan-lahan kosong. Jika warga ingin menuju pusat kota, harus menunggu transportasi dalam waktu lama. Salah satu dampaknya sudah  terbayangkan betapa sulitnya warga jika ingin mendapatkan akses kesehatan.

Mulai Praktek   
Sekitar tahun 2000, banyak warga yang datang ke Debora dan meminta Debora membantu kesulitan warga mendapatkan akses kesehatan. Warga meminta Debora untuk membuka praktek di rumahnya. Hal ini akan memudahkan warga yang ingin berobat atau konsultasi.

“Saya tidak siap buka praktik di rumah. Karena rumah ini tidak saya design untuk klikik,” tutur Debora. Namun desakan warga akhirnya meluluhkan hatinya. Debora mengorbankan dan menyulap kamar pribadinya menjadi klinik. Bukan hanya komitmen untuk menerima pasien di rumah dengan membuka praktik ini Debora juga harus berkomitmen mengatur waktunya. Antara tugas di RS Panti Wiloso yang kadang-kadang tetap mendapatkan jam kerja malam hari dan waktu menerima pasien di rumahnya. Juga kesibukannya kuliah di rumah sakit yang sama.

Sesaat setelah klinik pribadi dibuka di rumahnya, banyak warga yang datang ketempatnya.

“ Awal pratik minimal ada permintaan KB dan suntik. Lama-lama warga meminta saya membuka persalinan. Dari mulut  ke mulut akhirnya banyak warga yang datang,” kata perempuan yang memiliki senyum ramah ini.

Selama buka praktik, jangan dibayangkan Debora akan mengeruk dan mendapat  banyak keuntungan. Kedatangan warga ketempatnya bukan hanya karena dekat dengan rumah warga namun juga karena persoalan biaya.

Warga yang tinggal di Desa Gasem Sari Kelurahan Tlogomulyo Kecamatan Pedurungan Semarang ini rata-rata berprofesi sebagai buruh dan pembantu rumah tangga bahkan sebagian merupakan mantan preman dan Pekerja Seks Komersial (PSK).

Mereka adalah korban gusuran dari program pembangunan Pemerintah Kota Semarang pada tahun 1997. Sebelumnya mereka menempati kawasan pusat Kota Semarang seperti Simpang Lima, Kampungkali dan Seroja. Kawasan-kawasan ini sekarang sudah berubah menjadi pusat pertokoan, hotel dan perkantoran.

Dekat Dengan Warga

Kondisi ini membuat Debora trenyuh. Ia menerima siapa saja yang datang ke kliniknya. Berbagai macam karakter warga ia terima dengan ikhlas. Karena sudah bisa ditebak,kesulitan dan keluhan mereka.

Sebagai warga yang tinggal di daerah “beresiko tinggi” persoalan kekurangan ekonomi tentu menjadi persoalan dasar mereka. Tak heran jika akhirnya klinik praktek Debora menjadi klinik sosial.

Debora kadang tak memasang biaya pengobatan. Karena pasien yang datang berobat, beragam latar belakang dan kemampuannya. Ada pasien yang berobat dan membayar sesukanya. Atau mencicil bayaran bahkan tidak membayar.

“  Juga ada yang ingin membayar dengan fisiknya, ia ingin menjadi pembantu di rumah saya tanpa dibayar untuk melunasi biaya berobatnya, biaya bersalinnya,” kata Debora lagi. Debora menerima semua itu dengan ihklas dan terbuka.

Temukan Gizi Buruk.

Setahun berlalu, kesibukan di kliniknya makin bertambah. Dia juga masih disibukkan dengan mengurus tiga anaknya,  Priscila Indah Hapsari (15), Calvin Brianardi (14) dan anak ketiganya  Theofilus Dimas Ardiyanto ( 9). Selama ini Debora mengurus tiga anaknya sendiri karena sang suami Ir Supriyanto Budi Wibowo (42) bekerja di Kalimantan.
Kesibukan dan kendala membagi waktu inilah membuat Debora mengambil keputusan berhenti bekerja dari RS Panti Wiloso Semarang pada tahun 2001.

Ia memiliki lebih banyak waktu untuk anak-anak dan kliniknya. Ditengah prakteknya Debora terkejut menemukan keadaan memprihatinkan dari balita-balita yang dulu lahir di tempatnya.
“Anak yang lahir ditempat saya, sewaktu lahir sehat berat badan cukup, tapi setelah 1-2 tahun beratnya badannya tidak bertambah malah dibawah standar. Saya merasa ini bukan kesalahan klinik dalam menangani tapi akar persoalan dari keluarga,” tuturnya.

Tak sabar mencari jawaban, Debora menyempatkan diri berjalan-jalan di lingkungan sekitar. Setelah mendapati beberapa balita yang lahir di kliniknya namun mengalami gangguan gizi buruk.

Ia bertanya pada banyak pihak. Dan melihat langsung kondisi warga sekitar. Debora mendapati lingkungan yang juah dari standar kesehatan.

Suyuti Ketua RT 1/III Desa Gasem Sari Tlogomulyo Pedurungan Semarang, menuturkan jika wilayahnya adalah wilayah padat penduduk.  Dalam 1 RT terdapat 80 Kepala Keluarga (KK) dengan 154 balita.

“ Kondisi ini masih diperparah dengan keadaan tempat tinggal warga. Banyak warga yang menempati rumah berjubal-jubal. Satu rumah sempit, type 21 ditempati 3-4 KK,” kata Suyuti.

Jika akhirnya banyak bermunculan balita-balita gizi buruk, Suyuti mengakui hal ini karena persoalan minimnya ekonomi dan pendidikan warganya. Banyak keluarga muda yang tidak memahami persoalan gizi anak disamping juga kesulitan ekonomi untuk memenuhi gizi anaknya.

Suyuti sangat mendukung upaya bidan Debora dalam menyelamatkan situasi buruk di daerahnya. Bidan Debora aktif menjemput warga dan memberikan penyuluhan. Tak hanya itu, Debora juga membuka rumahnya menjadi sarana belajar ibu-ibu yang ingin mengetahui bagaimana merawat balita dan membuat gizi yang baik untuk anak-anaknya.

“ Bukan hanya memberi penyuluhan, Bu Debora juga sering memberikan makanan tambahan untuk anak saya dan menimbang berat badan anak saya,” kata Indriyani salah satu warga yang aktif mengikuti penyuluhan bidan Debora.

Penyuluhan pribadi diberikan Debora untuk ibu-ibu balita yang aktif datang ke rumahnya. Debora sempat kawatir, jika program ini hanya bermanfaat jangka pendek. Menolong balita gizi buruh dengan pemberian makanan tambahan, tapi tidak memecahkan persoalan utamanya, kekurangan ekonomi dari keluarga balita. Apalagi program pemerintah pemberian makanan tambahan melalui posyandu, 1 bulan sekali tak mungkin dapat mengejar pemenuhan gizi balita.

Bersamaan dengan kekawatiran ini, Debora mendapatkan angin segar pada tahun 2009. Ia mendadpatkan  informasi dari teman-teman bidan tentang program Pos Bhakti Bidan yang digagas Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Sari Husada. Debora mengajukan proposal dan fokus pada program MDG 4 menurunkan angka kematian anak.

PT  Sari Husada dan Ikatan Bidan Indonesia membuka peluang ini untuk para bidan menjalankan tugas sosial kepada masyarakat.

“ Saya  membuat proposal, balita yang mengalami gizi buruk  ada 11 balita. Mereka sangat parah,  dibawah garis merah 2 tahun bertanya masih 9 koma,” tuturnya. Debora menganggap program ini cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannya membantu masyarakat sekitar.

Proposalnya bersaing dengan 500 propsal, diperamping dengan 200, dan akhirnya lolos dengan 9 proposal lainnya. Program yang diajukan Debora adalah menggerakkan masyarakat untuk membuat tempe.

“ Saya amati disini banyak warung, dekat pasar dan masyarakat senang mengkonsumsi tempe. Jadi saya pikir dengan membuat tempe, bisa menjadi pemasukan keluarga. Kalaupun tempenya tidak habis kan bisa dimakan sendiri untuk kebutuhan gizi anak dan keluarga,” kata Debora menjelaskan.

Debora menjalankan program dengan membuat tempe dan fokusnya pada keluarga yang memiliki balita gizi buruk. Ada 11 keluarga yang menjadi fokus programnya. Dengan modal yang diberikan penyelenggara program, Debora mulai menggerakan masyarakat membuat tempe.

Dimulai dengan melibatkan mantan pasiennya, yang pernah bercerita jika dia ahli dalam membuat tempe. Mantan pasiennya tersebut dilibatkan sebagai pelatih untuk para ibu balita.

Program ini berjalan selama 6 bulan. Para ibu sudah merasakan manfaatnya. Diantaranya bayinya sudah mulai meningkat berat badannya karena gizinya juga meningkat. Tempe yang diproduksi mulai dipasarkan dan dikonsumsi sendiri.

“Saya masih membuat untuk konsumsi sendiri, kalau buat sendiri kan tahu bersih dan sehatnya bahan-bahan tempenya,” kata Indriyani salah satu peserta program “Tempe Penyambung Kehidupan”.

Dari program ini, ketekunan dan keihklasan Debora mencerahkan kehidupan masyarakat Desa Gasem Sari Tlogomulyo Pedurungan Semarang, mengantarkan bidan yang penuh pengabdian ini meraih Srikandi Awards 2010.

“Penghargaan bukan target utama saya, yang utama adalah masyarakat mandiri dan terbebas dari kesulitan ekonomi dan kesehatan,” tuturnya. Selanjutnya Debora masih memiliki program lain membantu ibu-ibu balita di Desanya dengan program penyuluhan pentingnya pemberian ASI yang sehat kepada balita. (Shinta Ardhany)