Dalang Perempuan Nyi Wiwik |
Perjalananku mencari rumah dalang perempuan
ini tergolong mudah. Aku yang juga orang sekitar Salatiga, tak sulit untuk berburu alamatnya. Akhirnya...ini dia...:)
Rumah paling ujung di kawasan alas karet Dusun
Klopo Desa Bringin Kecamatan Beringin Kabupaten Semarang, tampak sederhana. Bangunannya
semipermanen seluas 90 meter persegi. Di rumah yang penuh dengan pohon bambu
inilah dalang
wayang kulit Dwi Tristi Hartini, yang terkenal dengan nama Nyi Wiwik Sabdo
Laras,tinggal bersama keluarganya.
Memang tak sulit menemukan rumah dalang perempuan ini. Selain namanya
sudah cukup kondang di kecamatan Bringin Salatiga, dia juga memberikan petunjuk
bagi siapa saja yang ingin berkunjung kerumahnya dengan memberikan tanda khusus
di depan rumahnya. Tepatnya di kaca depan rumah dia menuliskan “ rumah dalang putri”.
Kalangan Pemerintah, media dan masyarakat pencinta kesenian wayang banyak
berkunjung ke rumahnya akhir-akhir ini.
Cinta Dalang.
Dwi Tristi Hartini
atau dalang Nyi Wiwik, mulai akrab dengan dunia wayang dan dalang sejak masih
kecil. Bakat mendalangnya mengalir dari darah seni orang tuanya. Ayah Wiwik, Sutrisno Madiyocarito, adalah dalang sepuh yang terkenal di Kabupaten
Semarang. Aliran darah seni ternyata lebih kuat dalam melahirkan minat Wiwik
untuk mendalang.
Irama gending yang sudah diakrabnya, sabetan tangan ayahnya memainkan
tokoh-tokoh wayang yang menjadi santapannya setiap hari membuat Wiwik serius
terjun ke kesenian ini. Tanpa arahan atau paksaan dari ayahnya.
“Sejak umur 10 tahun Bapak akhirnya mengajari
saya, memegang wayang, memainkan dialog dan ketrampilan lainya dalam
mendalang,” tutur Wiwik memulai ceritanya.
Sejak umur 10 tahun pula ia mulai diajak ayahnya “bekerja”. Wiwik sering mewakili tugas ayahnya medalang untuk sesi
pertunjukan siang hari. Pada sesi ini belum menuntut keahlian maximal dari
seorang dalang. Berbeda dengan penampilan dalang yang tampil pada malam hari.
Semua ramuan pertunjukan wayang kulit haruslah sempurna.
Tak Sengaja Masuk
Sekolah Dalang.
Bagi Wiwik kecil kala itu, kepiawaianya memainkan tokoh-tokoh pewayangan
sudah diatas rata-rata anak seusianya. Bahkan sangat unik, karena baru Wiwik
yang diketahui mampu menjadi dalang
cilik perempuan. Namun kelebihan tersebut tidak lantas membuat Wiwik bercita-cita
menjadi dalang perempuan profesional.
Saat memasuki
bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia
(SMKI) Solo, pada tahun 1997 Wiwik justru memilih jurusan lain.
“ Awalnya saya bercita-cita jadi penari makanya
saya mengambil jurusan tari. Tapi
ternyata peminatnya banyak sekali. Saya beralih ke jurusan karawitan, tapi
tidak boleh sama bapak saya karena nanti larinya jadi sinden. Bapak tidak suka
saya jadi sinden. Akhirnya saya masuk ke jurusan pedalangan,” ujar Wiwik menuturkan ketidaksengajaan dia
masuk jurusan dalang.
Seolah sudah menjadi jalan hidup Wiwik, di
kelas dalang, dia termasuk siswa yang paling menonjol. Bakatnya yang luar biasa
mendapat apresiasi dari para guru. Wiwik diakui memiliki bakat yang kuat dalam
mendalang.
“
Ada peneliti yang mengatakan bakat kuat
saya terlihat dari kemampuan saya memegang wayang dan kelincahan memainkan
wayang,” kata Wiwik.
Dari kemampuan lebih inilah,pundi-pundi rupiah
akhirnya mengalir ke kantongnya. Sejak SMA Wiwik sudah berhasil mencari uang
sendiri dengan mendalang. Banyak tawaran dari teman-temannya sesama seniman
wayang kulit. Mereka mengajak Wiwik kerjasama untuk pertunjukan wayang kulit
berbagai lakon.
Serius
Menjadi Dalang.
Seusai
lulus SMA, Wiwik makin mantab melangkahkan kakinya di dunia wayang kulit. Ia
serius menjadi dalang. Langkah pertama yang dilakukan adalah menemui
dalang-dalang senior.
“Mereka
sangat berarti untuk karir saya, saya bisa berkonsultasi, belajar dan bekerja
pada mereka,” kata Wiwik.
Bekerja yang
dimaksud adalah Wiwik menyediakan dan menawarkan diri mewakili tugas mereka
sebagai dalang pocokan, dalang siang. Yakni dalang yang menjalankan
pertunjukannya siang hari.
Hampir 15 tahun
Wiwik melakoni ini. Seperti lakon-lakon wayang yang dimainkannya, selalu ada
perjuangan untuk menggapai kemenangan. Wiwik juga mengalami hal yang sama,
masih harus merangkak lebih keras lagi untuk menggapai cita-citanya. Tak
semuanya berjalan mulus. Banyak pihak yang masih belum melirik kemampuannya
mendalang. Dalang perempuan masih disangsikan.
Karenanya, Wiwik makin bertekad mendobrak tradisi pedalangan
yang dianggap ranahnya kaum lelaki. Dia meningkatkan kemampuan mendalangnya
dengan terus berlatih, banyak mencari kesempatan dan tidak malu untuk mencoba
tampil meski tanpa bayaran.
Menang Festival Dalang
Usaha Wiwik mulai
menunjukan hasil. Nama Wiwik kian
berkibar setelah berhasil meraih gelar dalang favorit pada Festival Dalang
Wanita yang diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Komisariat
Daerah (Komda) Jateng dan Dinas Pendidikan Provinsi Jateng tahun 2008.
Sebelum menang
festival, selama ini Wiwik tampil mewakili Kotamadya Salatiga. Namun karena
Wiwik merupakan warga Kabupaten Semarang, Wiwik pindah haluan. Ia fokus ke
Kabupaten Semarang. Kemenangan Wiwik juga membuka perhatian Pemerintah Kabupaten
Semarang. Wiwik banyak diberi kesempatan tampil. Dan didorong lebih maju lagi.
Sejajar Dengan Dalang Pria
Wiwik pun bertekad menjadi dalang yang sejajar dengan
dalang pria dalam kemampuan memainkan wayang. Dia ingin setiap lakon yang dibawakan
dihargai dan disegani.
Dalang Wiwik juga memainkan
wayang kulit secara komplet. Dengan didukung 50 pemain sekali pentas. Terdiri
dari pesinden, penyanyi, dan pemain organ campursari, pelawak, pengrawit, dan
peniti atau pembantu dalang. Untuk garapan ceritanya Wiwik memilih mengikuti
perkembangan zaman. “ Tidak selalu berpegang pada cerita klasik yang penuh
pakem tapi saya memilih berimprovisasi,”
ujar Wiwik tentang gaya wayangnya.
Meski dia juga bersedia memainkan cerita-cerita klasik
tanpa tambahan musik apapun kecuali gamelan.
Untuk mendukung,
pementasan wayang kulitnya, Wiwik aktif mencari bahan-bahan yang sesuai dengan
perkembangan informasi. Seperti persoalan politik, kesehatan, ekonomi dan
lain-lain. Dengan cara itu, pesan akan lebih beragam dan mudah dipahami
masyarakat. ***
Inspirasi,
Shinta Ardhany,
Salatiga, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar