Sebagai bidan yang bertugas di kawasan padat penduduk di Kota Semarang, tepatnya Desa Gasem Sari Kelurahan Kel Tlogomulyo Kecamatan Pedurungan Kota Semarang ia banyak menemui kendala. Apalagi, kampung tempatnya bertugas, merupakan kawasan yang dihuni banyak mantan preman dan PSK.
***
Tak sulit untuk menemukan
tempat tinggal Debora Harmi. Begitu memasuki kawasan perumahan Graha Mukti
Utama banyak warga dengan mudahnya akan menunjukkan alamat rumah bidan tersebut.
Debora Harni tinggal di Jalan Selomukti F/262 Semarang, kawasan yang berdekatan
perumahan padat penduduk di ujung timur kota Semarang.
Perempuan kelahiran Pati, 30
Oktober 1968 ini mulai menempati rumahnya di Semarang sejak tahun 1998. Saat
yang sama dia kuliah mengambil studi lanjutan kebidanan dan bekerja di RS Panti
Wiloso Semarang.
Selama dia tinggal di
perumahan tersebut, dari tahun 1998 sampai tahun 2000, Debora melihat banyak
keadaan yang memprihatinkan. Kawasan yang jauh dari banyak sarana, baik sarana
kesehatan, transportasi, ekonomi dan lain-lain. Kawasan perumahan warga hanya
dipenuhi lahan-lahan kosong. Jika warga ingin menuju pusat kota, harus menunggu
transportasi dalam waktu lama. Salah satu dampaknya sudah terbayangkan betapa sulitnya warga jika ingin
mendapatkan akses kesehatan.
Mulai
Praktek
Sekitar tahun 2000, banyak
warga yang datang ke Debora dan meminta Debora membantu kesulitan warga
mendapatkan akses kesehatan. Warga meminta Debora untuk membuka praktek di
rumahnya. Hal ini akan memudahkan warga yang ingin berobat atau konsultasi.
“Saya tidak siap buka
praktik di rumah. Karena rumah ini tidak saya design untuk klikik,” tutur Debora. Namun desakan warga akhirnya
meluluhkan hatinya. Debora mengorbankan dan menyulap kamar pribadinya menjadi
klinik. Bukan hanya komitmen untuk menerima pasien di rumah dengan membuka
praktik ini Debora juga harus berkomitmen mengatur waktunya. Antara tugas di RS
Panti Wiloso yang kadang-kadang tetap mendapatkan jam kerja malam hari dan
waktu menerima pasien di rumahnya. Juga kesibukannya kuliah di rumah sakit yang
sama.
Sesaat setelah klinik
pribadi dibuka di rumahnya, banyak warga yang datang ketempatnya.
“ Awal pratik minimal ada
permintaan KB dan suntik. Lama-lama warga meminta saya membuka persalinan. Dari
mulut ke mulut akhirnya banyak warga
yang datang,” kata perempuan yang memiliki senyum ramah ini.
Selama buka praktik, jangan
dibayangkan Debora akan mengeruk dan mendapat
banyak keuntungan. Kedatangan warga ketempatnya bukan hanya karena dekat
dengan rumah warga namun juga karena persoalan biaya.
Warga yang tinggal di Desa
Gasem Sari Kelurahan Tlogomulyo Kecamatan Pedurungan Semarang ini rata-rata
berprofesi sebagai buruh dan pembantu rumah tangga bahkan sebagian merupakan
mantan preman dan Pekerja Seks Komersial (PSK).
Mereka adalah korban gusuran
dari program pembangunan Pemerintah Kota Semarang pada tahun 1997. Sebelumnya
mereka menempati kawasan pusat Kota Semarang seperti Simpang Lima, Kampungkali
dan Seroja. Kawasan-kawasan ini sekarang sudah berubah menjadi pusat pertokoan,
hotel dan perkantoran.
Dekat
Dengan Warga
Kondisi ini membuat Debora trenyuh. Ia menerima siapa saja yang
datang ke kliniknya. Berbagai macam karakter warga ia terima dengan ikhlas.
Karena sudah bisa ditebak,kesulitan dan keluhan mereka.
Sebagai warga yang tinggal
di daerah “beresiko tinggi” persoalan kekurangan ekonomi tentu menjadi
persoalan dasar mereka. Tak heran jika akhirnya klinik praktek Debora menjadi
klinik sosial.
Debora kadang tak memasang
biaya pengobatan. Karena pasien yang datang berobat, beragam latar belakang dan
kemampuannya. Ada pasien yang berobat dan membayar sesukanya. Atau mencicil
bayaran bahkan tidak membayar.
“ Juga ada yang ingin membayar dengan fisiknya,
ia ingin menjadi pembantu di rumah saya tanpa dibayar untuk melunasi biaya
berobatnya, biaya bersalinnya,” kata Debora lagi. Debora menerima semua itu
dengan ihklas dan terbuka.
Temukan
Gizi Buruk.
Setahun berlalu, kesibukan
di kliniknya makin bertambah. Dia juga masih disibukkan dengan mengurus tiga
anaknya, Priscila Indah Hapsari (15), Calvin
Brianardi (14) dan anak ketiganya
Theofilus Dimas Ardiyanto ( 9). Selama ini Debora mengurus tiga anaknya
sendiri karena sang suami Ir Supriyanto Budi Wibowo (42) bekerja di Kalimantan.
Kesibukan dan kendala
membagi waktu inilah membuat Debora mengambil keputusan berhenti bekerja dari
RS Panti Wiloso Semarang pada tahun 2001.
Ia memiliki lebih banyak
waktu untuk anak-anak dan kliniknya. Ditengah prakteknya Debora terkejut
menemukan keadaan memprihatinkan dari balita-balita yang dulu lahir di
tempatnya.
“Anak yang lahir ditempat
saya, sewaktu lahir sehat berat badan cukup, tapi setelah 1-2 tahun beratnya badannya
tidak bertambah malah dibawah standar. Saya merasa ini bukan kesalahan klinik
dalam menangani tapi akar persoalan dari keluarga,” tuturnya.
Tak sabar mencari jawaban, Debora
menyempatkan diri berjalan-jalan di lingkungan sekitar. Setelah mendapati
beberapa balita yang lahir di kliniknya namun mengalami gangguan gizi buruk.
Ia bertanya pada banyak
pihak. Dan melihat langsung kondisi warga sekitar. Debora mendapati lingkungan
yang juah dari standar kesehatan.
Suyuti Ketua RT 1/III Desa
Gasem Sari Tlogomulyo Pedurungan Semarang, menuturkan jika wilayahnya adalah
wilayah padat penduduk. Dalam 1 RT
terdapat 80 Kepala Keluarga (KK) dengan 154 balita.
“ Kondisi ini masih
diperparah dengan keadaan tempat tinggal warga. Banyak warga yang menempati
rumah berjubal-jubal. Satu rumah sempit, type 21 ditempati 3-4 KK,” kata
Suyuti.
Jika akhirnya banyak
bermunculan balita-balita gizi buruk, Suyuti mengakui hal ini karena persoalan minimnya
ekonomi dan pendidikan warganya. Banyak keluarga muda yang tidak memahami
persoalan gizi anak disamping juga kesulitan ekonomi untuk memenuhi gizi
anaknya.
Suyuti sangat mendukung
upaya bidan Debora dalam menyelamatkan situasi buruk di daerahnya. Bidan Debora
aktif menjemput warga dan memberikan penyuluhan. Tak hanya itu, Debora juga
membuka rumahnya menjadi sarana belajar ibu-ibu yang ingin mengetahui bagaimana
merawat balita dan membuat gizi yang baik untuk anak-anaknya.
“ Bukan hanya memberi
penyuluhan, Bu Debora juga sering memberikan makanan tambahan untuk anak saya
dan menimbang berat badan anak saya,” kata Indriyani salah satu warga yang
aktif mengikuti penyuluhan bidan Debora.
Penyuluhan pribadi diberikan
Debora untuk ibu-ibu balita yang aktif datang ke rumahnya. Debora sempat
kawatir, jika program ini hanya bermanfaat jangka pendek. Menolong balita gizi
buruh dengan pemberian makanan tambahan, tapi tidak memecahkan persoalan
utamanya, kekurangan ekonomi dari keluarga balita. Apalagi program pemerintah
pemberian makanan tambahan melalui posyandu, 1 bulan sekali tak mungkin dapat
mengejar pemenuhan gizi balita.
Bersamaan dengan kekawatiran
ini, Debora mendapatkan angin segar pada tahun 2009. Ia mendadpatkan informasi dari teman-teman bidan tentang program
Pos Bhakti Bidan yang digagas Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Sari Husada.
Debora mengajukan proposal dan fokus pada program MDG 4 menurunkan angka
kematian anak.
PT Sari Husada dan
Ikatan Bidan Indonesia membuka peluang ini untuk para bidan menjalankan tugas
sosial kepada masyarakat.
“ Saya membuat proposal, balita yang mengalami gizi
buruk ada 11 balita. Mereka sangat
parah, dibawah garis merah 2 tahun bertanya
masih 9 koma,” tuturnya. Debora menganggap program ini cara yang paling tepat
untuk mewujudkan keinginannya membantu masyarakat sekitar.
Proposalnya bersaing dengan
500 propsal, diperamping dengan 200, dan akhirnya lolos dengan 9 proposal
lainnya. Program yang diajukan Debora adalah menggerakkan masyarakat untuk
membuat tempe.
“ Saya amati disini banyak
warung, dekat pasar dan masyarakat senang mengkonsumsi tempe. Jadi saya pikir
dengan membuat tempe, bisa menjadi pemasukan keluarga. Kalaupun tempenya tidak
habis kan bisa dimakan sendiri untuk kebutuhan gizi anak dan keluarga,” kata
Debora menjelaskan.
Debora menjalankan program
dengan membuat tempe dan fokusnya pada keluarga yang memiliki balita gizi
buruk. Ada 11 keluarga yang menjadi fokus programnya. Dengan modal yang
diberikan penyelenggara program, Debora mulai menggerakan masyarakat membuat
tempe.
Dimulai dengan melibatkan
mantan pasiennya, yang pernah bercerita jika dia ahli dalam membuat tempe.
Mantan pasiennya tersebut dilibatkan sebagai pelatih untuk para ibu balita.
Program ini berjalan selama
6 bulan. Para ibu sudah merasakan manfaatnya. Diantaranya bayinya sudah mulai
meningkat berat badannya karena gizinya juga meningkat. Tempe yang diproduksi
mulai dipasarkan dan dikonsumsi sendiri.
“Saya masih membuat untuk
konsumsi sendiri, kalau buat sendiri kan tahu bersih dan sehatnya bahan-bahan
tempenya,” kata Indriyani salah satu peserta program “Tempe Penyambung Kehidupan”.
Dari program ini, ketekunan
dan keihklasan Debora mencerahkan kehidupan masyarakat Desa Gasem Sari
Tlogomulyo Pedurungan Semarang, mengantarkan bidan yang penuh pengabdian ini
meraih Srikandi Awards 2010.
“Penghargaan bukan target
utama saya, yang utama adalah masyarakat mandiri dan terbebas dari kesulitan
ekonomi dan kesehatan,” tuturnya. Selanjutnya Debora masih memiliki program
lain membantu ibu-ibu balita di Desanya dengan program penyuluhan pentingnya
pemberian ASI yang sehat kepada balita. (Shinta
Ardhany)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar