Sabtu, 23 Juni 2012

Penderita Lumpuh Langka Boyolali: Belum Ditemukan Obatnya, Mereka Menanti Ajal

“ Kakak saya yang membuat saya tegar dan bertahan, kalau tidak ada saya siapa yang ngurus kakak saya?” tutur Asih Fajar Wulan penderita lumpuh langka di Boyolali. Asih yang lumpuh harus tegar dan mandiri merawat kakaknya yang juga lumpuh bahkan kondisinya lebih parah. Tak bisa bergerak, tidak bisa bicara dan komunikasi hanya disampaikan melalui jerit tangis.

 
Asih, salah satu penderita lumpuh langka di Boyolali.
 ***
Saat bersama mereka, atau setelah aku kembali dan membuat tulisan ini berkali-kali aku tak dapat menahan air mata. Betapa tak terbayangkan bagaimana mereka bertahan dan menjalani hidup mereka.
Ada inspirasi luar biasa dibalik derita keluarga ini. Selamat membaca.

***

 “ Aku ingin jadi penyanyi. Suaraku dulu bagus. Aku suka nyanyi di acara kampung gabung dengan grup rebana,” tutur Asih Fajar Wulan(20) terbata-bata. Gadis ayu berkulit putih bersih ini tampak menunduk dan menahan tangis saat menceritakan mimpinya. Mimpinya yang belum sempat terwujud, mimpi yang terpaksa ia kubur setelah ia menderita lumpuh. Asih tidak sendiri. Kelumpuhan juga dialami 3 saudara kandung dan puluhan sepupunya.

Asih sempat menjadi gadis normal, bermain dan bersekolah dengan teman-teman lainnya. Anugerah ini ia rasakah hingga umur 18 tahun. Sementara derita lumpuh mulai dialaminya 2 tahun lalu.

“ Saya tidak tahu awalnya bagaimana tiba-tiba saja kalau jalan saya sempoyongan,gluyuran dan badan lemes gitu,” kata Asih mengawali cerita lumpuhnya. Dia mengalami tahap-tahapan kelumpuhan dari gejala ringan hingga makin parah. Dari tidak bisa berdiri tegak, lalu tidak bisa berjalan dan akhirnya ia harus menjalankan aktifitas dengan merambat.

“Saya juga mulai cadel, bicara susah dan tidak jelas. Ini saya alami selama kurun waktu dua tahun belakangan ini,” kata gadis ayu berambut panjang ini. Meski sesekali  terisak saat menceritakan perjalanan hidupnya namun Asih tampak berusaha tegar. Disamping saya, dia beberapa kali menyebut ada seseorang yang membuatnya tidak berputus asa menjalani takdirnya. Aji Wardani (24), adalah satu-satunya saudara perempuannya. Seperti Asih, Aji juga mengalami kelumpuhan. Bahkan kondisinya lebih parah. Aji sudah tidak bisa melakukan aktifitas apapun. “Mbak Aji sudah tak dapat bicara. Komunikasi dengan orang lain ia sampaikan lewat jeritan.Misalnya badan dia pegal ingin pindah posisi tidur, dia hanya menjerit untuk menyampaikan maksudnya ,”  tutur Asih.

Sudah 4 tahun terakhir ini Aji hanya terbaring. Bahkan untuk menggeser badan atau kepalanya ia tak bisa melakukan sendiri. Ia butuh bantuan orang lain. Dan adiknya lah, satu-satunya teman dan perawat setianya selama ini.

“Sehari-hari saya menemani kakak saya, duduk disamping tempat tidurnya. Menghiburnya, walaupun dia tidak bisa bicara tapi saya tak lelah mengajaknya bicara. Melayani dia mandi, makan dan minum,” tutur Asih dengan mata tersenyum. Mencoba mengingat banyak kenangan manis bersama kakaknya saat mereka masih sama-sama sehat dan lincah. Keduanya adalah kakak beradik yang sangat kompak. Kemanapun selalu berdua. Apalagi hanya mereka anak perempuan dalam keluarga besar tersebut.

Aji mulai mengalami lumpuh sejak umur 15 tahun. Dari gejala ringan hingga parah seperti sekarang ini. Tubuh Aji pun tinggal kulit membalut tulang. Badan Kurus dan kering. Syaraf bicara tak berfungsi. Namun hatinya masih hidup. Berkali-kali dia ikut tertawa saat saya mencandai kakaknya. Dia ingin ikut merasakan tertawa lepas dan bahagia.

Dua saudara Asih yang lumpuhnya lebih parah. 
Aji wardani, komunikasi hanya lewat jerit tangis

Aji, yang hanya bisa teriak dari ranjang kumuhnya.

 

SEJARAH LUMPUH SATU KELUARGA
Asih dan Aji adalah sebagian kecil dari anggota keluarga mereka yang mengalami kelumpuhan. Dalam satu anggota keluarga, hanya satu yang masih normal. Saya bertemu semua anggota keluarga lumpuh ini. Anak pertama Nur Ehsan Aris (37) mulai mengalami gejala lumpuh. Kakinya mengecil dan jalannya limbung. Anak kedua Muhtadin (35) satu-satunya yang masih normal. Dan sangat tegar. Tak pernah ada air mata yang tertahan saat menceritkan derita saudara-saudaranya. Melalui wajah dan matanya ia ingin menunjukan, dia tidak putus asa.
Anak ketiga, Ahmad Yuli Subani (26) kondisinya sama dengan Aji. Sangat parah. Lumpuh total dari kepala hingga kaki. Semua syaraf sudah tidak berfungsi.Sementara Aji dan Asih si bungsu, adalah dua anak perempuan yang berurutan.
Semua penderita lumpuh ini tinggal dalam satu rumah. Rumah kampung berlantai tanah, berbentuk joglo dan  sangat luas namun tak banyak isinya. Hanya ada meja makan dan 3 ranjang besar.  Ranjang paling dalam, menjadi tempat dua kakak beradik Asih dan Aji. Aji hanya berbaring dan Asih duduk disampingnya. “ Saya masih bisa main Hp, sms temen-temen mencari hiburan,” kata Asih. Sementara ranjang di depan,menjadi tempat Yuli menghabiskan hari-harinya.
Pertama  saya masuk ke rumah mereka, salam saya tak ada yang menjawab. Saya ulangi salam lagi. Dan...tiba-tiba dari balik ruang tamu ada suara laki-laki menjawab salam saya dengan jeritan dan mengerang kesakitan. Saya menengok ruangan itu. Tampak sesosok tubuh remaja laki-laki tergolek diatas ranjang yang hanya beralas tikar. Tubuhnya kurus kering, serta penuh luka bekas sakit kulit. Dia tampak ingin bangun dan duduk untuk menerima kedatangan saya. Berkali-kali ia gerakkan badannya dan berusaha duduk namun tak kuasa. Ia kembali roboh di ranjang yang cukup keras itu.
Diruangan lain saya diterima Asih, yang menemui saya dengan merambat keruang tamu. Meninggalkan kakaknya Aji yang terbaring di kamar.
Satu keluarga lumpuh ini memiliki riwayat lumpuh yang berbeda. Muhtadin, satu-satunya anggota keluarga yang masih normal ingat betul kondisi yang dialami saudara-saudaranya.
“Dari semua saudara saya ini, tahapan lumpuhnya berbeda-beda. Yang baru gejala kakak pertama saya Mas Ehsan. Kondisi kedua, Asih, dia masih bisa sedikit melakukan aktifitas meski merambat. Sementara yang paling parah Aji dan Yuli,” kata Muhtadin.
Meski gejala yang mereka alami hampir sama, bermula dari jalan sempoyongan, kehilangan keseimbangan badan dan lemas. Namun masa datangnya penyakit berbeda-beda. “ Yang paling awal Yuli, dia mulai lumpuh sejak kelas 5 SD. Kedua Aji, sejak kelas 3 SMP, ketiga Asih mulai umur 18 tahun dan terakhir mas Ehsan sudah 1,5 tahun terakhir meraskan gejala lumpuh,” terang Muhtadin. Tak hanya itu kedua orang tua mereka,sang Ayah Sutejo dan Ibu Mutiah, sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu akibat penyakit yang sama seperti yang diderita keempat anak kandungnya  sekarang.

KERJA JAGA WC SAMPAI KULI UNTUK HIDUPI KELUARGA
“Sejak orang tua meninggal, saya bertekad mengambil alih peran Bapak Ibu dalam merawat dan menyayangi adik-adik saya,” tutur Muhtadin tegas. Sepeninggalan kedua orang tuanya Muhtadin, satu-satunya yang masih normal, berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Pria lulusan SD ini rela melakoni banyak pekerjaan kasar demi menyambung hidup saudara-saudaranya. Ia pernah bekerja sebagai penjaga WC di Surakarta, bekerja sebagai buruh bangunan dan pekerjaan serabutan lainnya. “ Niat saya ibadah, kerja dan cari uang halal. Tak peduli apapun pekerjaanya,” tuturnya bersemangat. Meski hanya dia satu-satunya yang masih dapat bekerja.
Tiap hari ia harus mengeluarkan banyak biaya. Untuk kebutuhan makan 7 orang di rumahnya, bersama kakak ipar dan ponakannya, anak dari Ehsan. Muhtadin sadar,saudara-saudaranya yang lumpuh sebenarnya masih membutuhkan makanan bergizi, untuk menopang energi dan ketahanan fisiknya. Namun karena hanya dirinya yang masih dapat bekerja itupun serabutan, hasilnya hanya makanan ala kadarnya yang dapat dia berikan kepada saudara-saudaranya yang lumpuh tersebut.” Nasi, mie dan krupuk menjadi makanan sehari-hari mereka, ” tutur Muhtadin miris.
Sementara kebutuhan utama lainnya adalah pampers. Dua adiknya Aji dan Yuli, yang sudah lumpuh total, sangat bergantung pada popok tersebut. Dalam satu hari mereka bisa menghabiskan 10 pampers. Bisa dihitung berapa besar biaya yang harus dicari oleh Muhtadin untuk kebutuhan khusus adik-adiknya itu. “ Saya tak sempat lagi berfikir mencari obat atau kesembuhan. Karena untuk kebutuhan sehari-hari saja saya harus berjuang keras karena sangat banyak biaya yang diperlukan. Sudah banyak usaha sebelumnya tapi tak pernah ada hasil maka saya sekarang memilih pasrah dan berdoa,” kata Muhtadin dengan tatapan nanar. Uang yang didapat lebih baik ia gunakan untuk makan bersama adik-adiknya daripada berobat.
“ Saya sadar, saudara-saudara saya masih ingin sehat, ingin sembuh tapi bagaimana lagi keadaan ini harus kami lewati dan kami hadapi. Saya juga menyadari dengan tidak berbuat apapun untuk saudara-saudara saya yang lumpuh ini sama halnya dengan membiarkan mereka menunggu ajalnya,” ucap Muhtadin lirih.
Dari seluruh anggota keluarganya yang mengalami lumpuh, tak ada satupun yang sembuh atau membaik. “ Semuanya meninggal. Dari gejala, parah sampai meninggal rentang waktunya berbeda-beda.Ada yang mampu bertahan 3 dan 5 sampai 8 tahun,” kenang Muhtadin.

KISAH LUMPUH SEPUPUNYA
Tak berbeda dengan saudara-saudara kandungnya, Sri Lestari (24) saudara sepupu Muhtadin juga mengalami kelumpuhan. Gadis lembut bermata bulat ini mengalami gejala lumpuh sejak umur 20 tahun. Berbeda dengan Asih yang berusaha tegar, Tari tampak lebih sensitif. Saat saya datang ke rumahnya dan mengajaknya berbicara, Tari lebih banyak menangis. Ia tampak begitu terpukul dengan musibah yang menimpanya. Sebelum lumpuh, Tari adalah gadis periang, lincah dan penuh kreatifitas. “ Saya dulu pernah lajo Boyolali Solo untuk sekolah dan kerja, dulu tidak ada masalah,” ucap Tari dengan suara cedalnya yang tertelan tangis. Tari merampungkan sekolahnya di jurusan tata boga di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Surakarta. Setelah lulus ia sempat magang di dapur Rumah Sakit Tulang di Surakarta. Keinginan kuatnya menjadi chef membuatnya bertekad mencari banyak pengalaman.
Seperti mengulang nasib sepupunya, Tari juga terpaksa mengubur cita-citanya karena kini hidupnya berada diatas pembaringan dan kursi roda. Kondisi Tari tergolong parah. Ia sudah tidak dapat banyak bergerak. Semua aktifitas dibantu sang ibu. Syaraf bicaranya yang paling cepat memburuk.
Tari memiliki satu saudara kandung. Kakak laki-lakinya masih sehat dan bekerja sebagai perangkat desa. Hanya dengan kakak dan ibunnya, Tari melewati hari-harinya karena sang Ayah sudah meninggal beberapa tahun lalu karena penyakit yang sama. Suwarni ibu Tari kini mengambil alih menghidupi keluarga dengan membuka warung klontong di rumahnya.
“Awalnya warung ini saya buat untuk Tari tapi lama-lama kok dia tidak bisa berdiri dan bergerak...” suara tegar Suwarni seketika berubah menjadi tangis.
“Saya sudah habis banyak biaya untuk mengobatkan Bapaknya, sekarang saya tinggal punya rumah ini saja,” sambungnya dengan suara parau.

LUMPUH 5 GENERASI
Dua keluarga yang mengalami kelumpuhan itu bukan yang pertama. Menurut Muhtadin generasi pertama yang mengalami kelumpuhan ini adalah kakek buyutnya. Cikal bakal generasinya menderita penyakit itu  sejak tahun 1940-an. Hingga sekarang jumlah total keluarga yang lumpuh ada 35 orang. “ Kami adalah generasi kelima,” tutur Muhatadin.
“Dari 35 orang anggota keluarga saya yang meninggal sudah 20 orang, sisanya masih tanda tanya. Juga untuk yang belum terkena sakit, memang ada kekawatiran tapi harus kami siap menghadapinya,” sambungnya.
Awalnya keluarga Muhtadin menyimpan rapat-rapat penyakit genetik yang diderita keluarganya. “ Kami merasa itu sebagai aib,” katanya singkat. Namun lama kelamaan mereka menyerah. Setelah banyak upaya yang ditempuh keluarga tidak membuahkan hasil. Pengobatan dimanapun tak ada yang mampu menyembuhkan penyakit lumpuh lima generasi tersebut. Biaya sudah habis, harta benda terkuras untuk pengobatan. Akhirnya mereka sepakat membawa persoalan ini ke media. “ Kami membutuhkan bantuan. Yang utama adalah bantuan psikologis. Dengan kami ungkap di media, kami yakin akan banyak pihak yang membantu,mencarikan jalan keluar. Menyelidiki penyakit keluarga kami syukur-syukur mengobatinya,” kata Muhtadin.
Hasilnya banyak simpati berdatangan, banyak pihak mencoba menawarkan jalan keluar. Pemerintah Kabupaten Boyolali langsung turun tangan. Memberikan pengobatan gratis kepada penderita lumpuh genetika itu. Semua penderita lumpuh sempat dirawat di RSU Pandanarang Boyolali selama 10 hari. Pasien dirawat dan diteliti penyakitnya.
Tim Medis RSU Boylali menegaskan penyakit yang menyebabkan kelumpuhan satu keluarga di Boyolali ini bukan penyakit menular sehingga masyarakat tidak perlu cemas dan mengucilkan penderita.

KEDOKTERAN INDONESIA BELUM TEMUKAN OBATNYA.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali Dr Yulianto Prabowo menyatakan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim medis RSU Pandanarang Boyolali, mereka menderita lumpuh genetika. Hal ini berdasar riwayat penyakit yang sudah terjadi pada lima generasi keluarga penderita.
Jenis penyakitnya adalah friedreich ataksia. Berupa gangguan progresif secara bertahap pada susunan syaraf pusat dan otot yang disebabkan oleh penyakit genetika autosomal resesive. Penderita mengalami kegagalan kontrol otot pada tangan dan kaki sehingga menghasilkan kurangnya keseimbangan dan gangguan fungsi seluruh syaraf.
“ Penyakit ini termasuk langka, mengenai 1: 50 ribu jiwa,” kata Dr Yulianto
Gejala dan waktu penyerangan penyakit ini berbeda-beda tergantung tipe ataksia. Dapat menyerang pada  usia anak-anak, usia 20 tahun-30 tahun bahkan 60 tahun.
“Tim medis sudah menemukan jenis penyakitnya. Namun belum menemukan obatnya. Obat yang kami berikan hanya berfungsi untuk memperlambat kematian penderita karena fungsi-fungsi syarafnya masih kami bantu dengan obat,” terang Dr Yulianto.
Hasil penelitian RS Muwardi nantinya akan dijadikan rujukan Ilmu Kedokteran Indonesia untuk menangani penyakit ini. “ Di Indonesia juga belum memiliki laboratorium yang bisa mendeteksi apakah seseorang memiliki gangguan ataksia atau tidak,” jelasnya.
“ Semuanya berakhir dengan kematian.  Yang jelas apa adanya akan kami hadapi dengan ikhlas. Kami siap berusaha tapi kami juga siap menerima hal terburuk. Kami hanya meminta kepada Allah, semoga iman kami tetap kuat menghadapi ini, “ tutur Ehsan, si sulung yang mulai diserang lumpuh langka ini sejak 1,5 tahun terakhir ini. 


Boyolali, 7 Mei 2011.
Shinta Ardhany.






Asih,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar